Teraspapua.com, Jayapura – Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) Tsingwarop kembali mengecam Bupati Mimika Eltinus Omaleng yang semakin menunjukkan arogansinya dengan terus berupaya menguasai 7 persen divestasi saham PT. Freeport Indonesia.
Arogansi semakin ditunjukkan untuk kepentingan pribadinya dengan memasukkan perusahaan lain yang belum ada pengurusnya.
Ketua FPHS Tsingwarop, Yafet Manga Beanal mengatakan dalam perjanjian pembagian 10 persen divestasi saham PT. Freeport Indonesia sudah disepakati 3 persen untuk Pemerintah Provinsi Papua, 3 persen Pemerintah Kabupaten Mimika dan 4 persen milik masyarakat adat Tsingwarop.
“Jadi, kami minta Ketua Bapemperda DPRD Mimika tidak boleh pleno Perda Saham 7 persem sebelum mengakomodir FPHS Tsingwarop dalam Perda tersebut,” tegasnya saat memberikan keterangan pers di kantor FPHS Tsingwarop, Timika, Jumat (2/10/2020).
Untuk itu, Yafet mengingatkan Bupati Eltinus Omaleng dan DPRD Mimika untuk tidak memaksakan diri soal pembagian saham 7 persen.
Hal ini sangat bertentangan dengan perjanjian induk yang telah dibuat kepemilikan saham 10 persen yaitu Pemerintah provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat Adat Korban Permanen dan Pemilik Hak Ulayat.
Namun, tim Bupati Mimika terus memaksakan kehendak pada tanggal 18 September 2020 dipaksakan sidang putusan Perda di Jakarta namun ditolak, karena belum libatkan masyarakat adat Tsingwarop.
“Kami sudah minta kepada Bapemperda untuk membuat keputusan lagi di Jayapura tanggal 29 September 2020 namun sampai saat ini belum jelas arah Bupati dan timnya,” katanya.
Selaku pemilik hak sulung areal tambang Freeport yang terkena dampak langsung dan korban permanen, FPHS Tsingwarop mengutuk keras tindakan inkonstitusional yang dilakukan Bupati dan timnya untuk menghalalkan segala cara demi meloloskan Perda saham 7 persen.
“Kami sebagai masyarakat adat sampaikan kepada Ketua Bapemperda dan anggota DPRD yang terhormat untuk segera melihat dan mengkaji hal ini secara hukum adat dan hukum pemerintah,” cetusnya.
FPHS juga minta DPRD Mimika buat perda mengakomodir aturan yang sudah disepakati pada perjanjian Induk di Jakarta tertanggal 12 Januari 2018 yang ditanda tangani oleh Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Gubernur Papua, Bupati Mimika dan Pimpinan Inalum.
“Bahwa saham 10 Persen pembagiannya adalah Pemerintah Provinsi 3 persen dan Pemerintah Kabupaten Mimika 7 persen termasuk mewakili hak-hak masyarakat adat pemilik hak ulayat yang terkena dampak Permanen areal tambang PTFI,” ujarnya.
“Kami dari FPHS inginkan Ketua Bapemperda dan Anggota Dewan yang terhormat melihat Perjanjian Induk di Pasal 2 ayat 2, 2 (1) tentang pembagian komposisi Saham itu harus diuraikan secara jelas di Perdasi Divestasi Papua Mandiri No 7 Tahun 2018 pasal 15,” kembali tegasnya.
Dikatakan, komposisi saham jangan hanya kopi paste saja tapi diuraikan juga peruntukannya. Dalam hal ini, masyarakat korban permanen dan hak ulayat itu komposisinya juga harus dimuat.
Seperti yang diputuskan oleh Gubernur Papua bahwa 4 persen saham adalah milik sah masyarakat korban permanen dan hak ulayat.
“Kami harapkan bahwa hal ini harus diakomodir oleh Bapemperda di dalam perubahan Perdasi No 7 Tahun 2018, bahwa point c pada pasal 15 adalah FPHS Tsingwarop yang memiliki legalitas Hukum untuk dimasukkan dalam Perdasi tersebut ini,” katanya.
Ditegaskan, bahwa Ketua Bapemperda dan DPRD Mimika jangan terlena dengan keinginan kekuasaan yang dilakukan oleh tim Bupati Eltinus untuk meloloskan Perda ini untuk kepentingan pribadi Bupati.
“Kami, mau semua hal yang terjadi diatas tanah leluhur kami tidak menjadi pertanyaan oleh anak cucu kami di kemudian hari,” tandas Yafet.
Senada, Sekretaris I FPHS, Yohan Zonggonau, bahwa dengan perjanjian induk Divestasi saham 10 persen oleh Pemda Provinsi Papua melalui Perdasi itu hanya kopi paste saja dan tidak dijabarkan dalam satu rincian.
Seharusnya, lanjut dia, dalam Perdasi Provinsi itu 7 persen saham dirincikan sehingga jelas peruntukannya, agar Bupati tidak kopi paste dari Perdasi Provinsi.
“Jadi begini nasib kita masyarakat adat, akhirnya saham milik masyarakat adat Bupati hilangkan semua. Bahkan dia mau buat dalam perusahaan beliau (Bupati Omaleng, red),” bebernya.
Menurut Yohan, Perda yang dimunculkan Bupati Mimika sama sekali tidak mengakomodir pemilik hak ulayat atau korban permanen areal tambang Freeport Indonesia.
“Ini yang ditolak anggota DPR di Jakarta dan katanya juga ditolak lagi DPR Provinsi tapi kami FPHS tetap akan lakukan tekanan supaya ada pertemuan bersama Bupati sehingga kita diakomodir dalam poin terpisah dalam pasal tersebut,” pungkasnya.
Let