Salah Paham antara Kata Keras dan Kera di Kerusuhan Wamena

Seorang pria berada di puing rumahnya yang terbakar di kawasan Hom-hom, Kota Wamena, Papua, Sabtu, 12 Oktober 2019. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan akan bekerja sama dengan Zeni TNI untuk segera membangun kembali perumahan yang rusak hingga terbakar pascaaksi unjuk rasa yang berujung anarkis pada 23 September 2019. ANTARA

Jakarta – Kerusuhan terjadi di Wamena, Papua, pada 23 September lalu hingga menewaskan 32 orang dan membuat sekitar 5 ribu lainnya terusir dari rumah mereka. Informasi awal yang beredar, peristiwa itu dipicu oleh insiden rasisme oleh seorang guru kepada siswa.

Penelusuran Majalah Tempo di Wamena menemukan, kerusuhan tersebut bermula dari salah paham antara seorang guru ekonomi dan pelajar di Sekolah Menengah Atas PGRI 1 Wamena. Pelajar menuduh guru pengganti, Riris Teodora Panggabean, mengucapkan kata rasis. Lima hari sebelumnya (18 September), Riris Teodora mengajar di kelas XII Ilmu Pengetahuan Sosial dan memeriksa pekerjaan rumah membuat bagan akuntansi.

“Rupanya ada sepuluh pelajar yang tak mengerjakan tugas,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jayawijaya Ajun Komisaris Suheriadi dikutip dari Majalah Tempo edisi Senin, 7 Oktober 2019.

Riris tiba di Wamena tiga bulan lalu dan mulai mengajar dua pekan sebelum kejadian. Polisi telah meminta keterangan Riris pada hari kerusuhan. Ia tak bisa ditemui lagi untuk diwawancarai. Sejumlah narasumber mengatakan Riris telah meninggalkan Wamena.

Kepada polisi, Riris mengaku meminta anak yang tidak mengerjakan tugas berdiri di depan kelas. Salah satunya Anton Pahabol. Versi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Papua serta Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem, nama anak ini adalah Nathan Pahabol. Kepada murid tersebut, Riris berkata, “Baca yang keras agar teman lain ikut dengar.”

Kata “keras” inilah yang menjadi sumber masalah. Sang murid merasa Riris menyebutnya “kera”. Tapi hingga selesai pelajaran, Pahabol diam saja. Isu rasisme muncul dua hari kemudian.

Di sejumlah grup percakapan Whatsapp, beredar meme yang menampilkan foto Riris dengan keterangan ada guru yang mengucapkan kata “monyet” kepada siswa di SMA PGRI 1 Wamena. “Kasus ini tak ramai hingga Sabtu (21 September) pagi,” kata Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey. Frits juga sempat bertemu dengan Riris.

Pada hari Sabtu itu, sejumlah pelajar asli Papua berkumpul di halaman sekolah menunggu Riris Teodora. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Debora Agappa, kemudian mempertemukan Riris dengan para siswa. Mereka diperhadapkan soal ucapan “kera”.

Namun dalam pertemuan itu, dugaan rasisme tetap tak terang. Menurut Ajun Komisaris Suheriadi, ada siswa yang mengaku mendengar Riris mengucapkan kata “kera”. Siswa lain mengaku tak mendengarnya.

Lantaran tak ada titik temu, Debora meminta masalah tak dibesar-besarkan. Frits menambahkan, siang itu sebenarnya Riris dan sejumlah pelajar sudah saling memaafkan. “Mereka bahkan sempat berpelukan dan bersalaman,” kata dia.

Pertemuan pada Sabtu itu tak memuaskan pihak lain. Dua hari berikutnya, mereka menggelar unjuk rasa di sekolah, yang kemudian meluas menjadi kerusuhan massal. Penelusuran Tempo menemukan sebagian perusuh datang dari luar kota.