Jayapura,Teraspapua.com – Drama penggunaan dokumen persyaratan administrasi calon yang diduga tidak sah dan diduga palsu berupa Surat Keterangan Tidak Sedang Dicabut Hak Pilihnya dan Surat Keterangan Tidak Pernah Sebagai Terpidana atau dikenal dengan Suket 539 dan 540 oleh Calon Wakil Gubernur dari Pasangan Nomor 01 BTM – YB, akhirnya terjawab.
Terbukti lakukan Pelanggaran Kode Etik dan pedoman perilaku, dijatuhi sanksi peringatan keras kepada TERADU I, II, III, IV dan V.
Demikian bunyi amar Putusan yang dibacakan Ketua DKPP Heddy Lugito, Jumat, 24 Januari 2025.
Menanggapi putusan DKPP ini, Pengamat Kepemiluan Marianus Yaung mengapresiasinya. Menurutnya, putusan DKPP itu, bukan hanya menjadi pembelajaran bagi KPU Papua tapi sekaligus pembelajaran bagi masyarakat Papua yang selama ini disuguhi informasi dan pemahaman yang menyesatkan dengan narasi bahwa masalah ini sudah ditolak Bawaslu, PT TUN dan sebagainya.
“Nah, sekarang apa yang menjadi perbincangan public bahwa ada calon yang menggunakan dokumen persyaratan yang tidak benar, tidak sah atau diduga palsu tetapi diloloskan oleh KPU Papua, akhirnya terjawab,” tegas Marianus Yaung.
Mantan Komisioner KPU Kota Jayapura ini mengatakan, jika mengikuti putusan DKPP dengan cermat, justru terungkap fakta-fakta yang mencengangkan.
“Saya mencatat setidaknya ada 4 (empat) fakta penting; Pertama; ternyata penggunaan dokumen persyaratan yang tidak sah atau diduga palsu ini sudah terjadi sejak di awal pendaftaran, Kedua; dokumen persyaratan tersebut tidak pernah diperbaiki pada masa dan tahapan perbaikan persyaratan calon (6-8 September 2024),” katanya.
Ketiga, lanjut Marianus Young, ternyata sebelum KPU Papua menetapkan Pasangan Calon tanggal 22 September 2024, Pengadilan Negeri Jayapura telah menyampaikan klarifikasi tertulis kepada KPU Papua yang menyatakan tidak pernah mengeluarkan Suket 539 dan Suket 540 kepada Yermias Bisai, SH dan kedua Suket tersebut terdaftar atas nama orang lain yaitu Semuel Fritsko Jenggu.
Keempat; KPU Papua melakukan pelanggaran perundang-undangan karena menerima dokumen persyaratan baru milik Yermias Bisai, SH di tanggal 20 September 2024 atau diluar dari tahapan dan jadwal yang diatur dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2024.
“Jadi ini clear sekali, pelanggarannya sangat sempurna dan terjadi di depan mata penyelenggara maupun pengawas,” terang Yaung.
“Saya ini pernah jadi komisioner, tapi saya sulit membayangkan pelanggaran seperti begini bisa terjadi, kecuali memang terhadap komisioner yang berani dan telah kehilangan rasionalitasnya dan itu yang sedang terjadi sekarang. Kalau hanya sekedar salah prosedur, kurang cermat, tidak ada koordinasi, salah ketik dan sebagainya, ya itu saya kira biasalah dan sering terjadi dimana-mana. Tapi kalau yang model begini, kan tidak wajar,” sambungnya.
“Bersyukur teman-teman KPU Papua tidak sampai diberhentikan entah karena pertimbangan apa, tetapi peringatan keras itu adalah sanksi yang levelnya satu tingkat dibawah pemberhentian. Jadi, ini tidak main-main,” ingatnya.
Akademisi Uncen yang dikenal cukup kritis ini menambahkan, dalam perspektif moral, KPU Papua seharusnya meminta maaf kepada seluruh rakyat Papua karena telah menciptakan kegaduhan dan mencederai proses demokratisasi dalam kontestasi Pilkada yang pertama kali dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia dalam sejarah demokrasi ini.
“Ini yang patut disesali karena akibat putusan DKPP ini nama baik lembaga KPU sudah pasti tercoreng,” sesal Yaung.
Disisi lain tanpa disadari, ujarnya, tindakan KPU Papua ini sangat merugikan BTM sebagai Calon Gubernur karena putusan DKPP akan menjadi novum atau bukti baru yang bisa dibawa ke MK untuk memperkuat gugatan Pemohon.
Dosen Hubungan Internasional Uncen ini mengingatkan, jika sampai putusan DKPP ini berakibat diskualifikasi di MK, yang paling bertanggungjawab adalah KPU Papua karena secara tidak langsung telah menyandera kepentingan hukum dan politik BTM di MK