Sarmi,Teraspapua.com – Tokoh adat sarmi Yakonias Wabrar menegaskan pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Sarmi ternoda karena Ketua Bawaslu dinilai tidak netral dan cenderung berpihak ke Paslon 01 Dominggus-Jumarti. Ketidaknetralan tersebut menuai protes dari Paslon 02 Yanni-Jemmi Maban dan 03 Agus Festus Moar-Mustafa Arnold Muzakkar.
“Keberpihakan Ketua Bawaslu Sarmi sangat kasat mata dan membuat fungsi pengawasan menjadi tumpul,” kata Yakonias di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Yakonias, yang juga merupakan bagian dari tim pemenangan Paslon 02 Yanni-Jemmi Maban, menyebut bahwa Ketua Bawaslu Obet Cawer lebih berfungsi sebagai humas Paslon 01 ketimbang pengawas pemilu.
Untuk memuluskan keberpihakannya, bahkan Obet dinilai tidak segan-segan memberikan keterangan yang tidak benar saat sidang di di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai mencederai integritas pemilu di Kabupaten Sarmi.
Dalam persidangan sengketa Pilkada Sarmi di MK pada 30 Januari 2025, Ketua Bawaslu Sarmi, Obet Cawer, mendapat pertanyaan dari Hakim Ketua Suhartoyo terkait tujuh kasus pidana pemilu di Kabupaten Sarmi yang telah diteruskan oleh Gakkumdu ke tahap penyidikan di Polres. Saat itu, Obet menyatakan bahwa hanya tiga dari tujuh laporan yang diproses di Pengadilan Negeri (PN) Jayapura.
“Faktanya, ketujuh laporan tersebut semuanya telah disidangkan di PN Jayapura, dan pada 5 Februari 2025, hakim memutuskan bahwa para terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara,” kata Yakonias.
“Bagaimana bisa seorang Ketua Bawaslu memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan yang mulia hakim konstitusi,” lanjutnya.
Pernyataan yang menyesatkan ini, menurut Yakonias, semakin menguatkan dugaan bahwa Obet tidak menjalankan tugasnya dengan independen dan profesional.
Dugaan Gratifikasi
Sebelumnya, Obet Cawer sudah menjadi sorotan publik karena pernyataannya yang cenderung membela Paslon 01. Tak lama setelah pemungutan suara, ia dengan cepat mengeluarkan pernyataan di media massa bahwa tidak ada kecurangan yang bisa menyebabkan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Padahal, di kantor Bawaslu telah masuk banyak laporan terkait pelanggaran dan pidana pemilu yang terjadi sebelum dan saat pemungutan suara. Pernyataan ini memicu protes dari pihak Paslon 02 dan 03.
Muncul pula dugaan bahwa Obet menerima gratifikasi sehingga dia tersandera dan tak bisa melakukan fungsi pengawasan dengan adil. Dana gratifikasi tersebut diduga digunakan untuk membeli mobil yang disamarkan atas nama orang lain, serta membangun rumah dan kos-kosan.
“Ada saksi kunci yang siap memberikan kesaksian dan bukti tak terbantahkan terkait dugaan ini,” katanya Yakonias yang saat ini berada di Jakarta bersama Cabup 03 Agus Festus Moar.
Bisa Dijerat Hukum
Pengamat kepemiluan dari Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menegaskan bahwa jabatan Ketua Bawaslu adalah posisi terhormat yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas demokrasi.
Menurutnya, siapapun penyelenggara pemilu, termasuk Ketua Bawaslu jika terbukti memberikan keterangan tidak benar di persidangan, maka ia bisa dijerat dengan pasal hukum terkait kesaksian palsu serta mendapat sanksi etik dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Memberikan keterangan yang tidak benar di muka persidangan MK bisa memiliki konsekuensi serius, baik dari segi hukum, etika, maupun dampaknya terhadap integritas pemilu. Ini bukan hanya mencoreng citra lembaga, tetapi juga merugikan proses demokrasi secara keseluruhan,” ujar Karyono.
Sebagai informasi, dalam pasal 242 KUHP memberikan keterangan palsu dalam konteks ini dapat dipidana penjara selama tujuh tahun.
Terkait dugaan gratifikasi, Karyono menyebutnya sebagai tindakan tercela yang sangat mencederai demokrasi. Jika terbukti, maka hal ini bisa menjadi kasus serius yang berpotensi ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.
“Jika ada laporan atau temuan yang cukup untuk membuka penyelidikan, maka proses hukum bisa dimulai,” katanya.
Ditegaskan Karyono, daya rusak suap terhadap demokrasi sangat besar karena menimbulkan konflik kepentingan. Jika Bawaslu menerima hadiah atau uang dari Paslon tertentu, besar kemungkinan keputusan yang diambil oleh Bawaslu akan dipengaruhi oleh pemberian tersebut.
“Ini jelas bertentangan dengan prinsip independensi dan objektivitas yang harus dijaga oleh lembaga pengawas pemilu,” tegasnya.
Menurut Karyono, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, harus menjunjung tinggi prinsip kejujuran, transparansi, dan independensi dalam melaksanakan tugasnya. Jika terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi dalam pemilu, maka kualitas demokrasi bisa mundur dan martabat bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia menjadi tercoreng.
“Jangan biarkan penyalahgunaan kewenangan dan korupsi mencemari kualitas demokrasi kita,” pungkas Karyono.
Untuk diketahuhi, sesuai Pasal 12 C Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila gratifikasi yang diterima terkait dengan jabatan atau kewenangan, maka si penerima dapat dikenakan hukuman penjara paling lama 20 tahun.