SEBUAH STUDY KASUS di Pondok Pesantren Tebuireng Kabupaten Jombang Jawa Timur oleh Drs.Jan Willem Ongge, M.Pd, M.Th Mahasiswa Program Doctor Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia Jakarta.
Ada santri nakal di sebuah pesantren. Begitu nakalnya hingga teman-teman sebaya dan para santri senior bosan melihat santri itu. Maka Ketika kenakalannya memuncak, para santri senior lapor kepada kiai, dan memohon agar santri nakal itu dipulangkan kepada orang tuanya.
“Tak bisa dibiarkan , kiai. Kita harus bertindak demi kedisiplinan, demi nama baik pesantren kita”, kata para santri. Sang. kiai manggut, “Kita pusing , kiai. Sudah kelewat banyak kita bersabar, tapi dia belum juga berubah” sambung santri yang lain. Sang kiai masih manggut-manggut, Para santri senior itu merasa, kiai ada di pihak nya. Usaha mereka menegakan disiplin demi kebaikan pesantren tentu didukung kiai.’Kita tidak boleh membuang-membuang waktu, kiai”kata para santri.
Sang kiai tetap mengangguk-angguk. “Jadi kiai setuju dengan kami , bukan?”
“Tidak” sahut kiai. Geledek menyambar mereka . Jadi apa artinya kiai manggut-manggut sejak tadi? Mengapa kiai menolak saran mereka? ’Kalian ini bagaimana “ kata kiai kalem.”orang tuanya , yang tahu anak itu nakal, menitipkannya pada saya agar disini dia berubah. Sekarang dia belum berubah kok mau kalian pulangkan . Apa kata orang tuanya nanti kepada kita kalau ia kita pulangkan sekarang? Jangan, nanti kalau dia sudah berubah , sesuai harapan orang tuanya” Tapi dia merusak kedisiplinan kita, kiai” sahut salah seorang santri senior itu. “Apa yang dia rusak nanti kita perbaiki” sahut kiai masih tetap kalem. Para santri heran memikirkan apa maunya sang kiai. Tapi sekarang ini, setelah berpulu-puluh tahun salah seorang santri senior itu melihat kenyataan, bahwa santri nakal, yang hendak mereka kembalikan kepada orang tuanya itu suda menjadi kiai besar, ia baru paham apa arti kearifan yang diperlihatkan sang kiai dulu. Kiai seperti sudah kecipratan charisma nabi Khidir, yang bisa bertindak di luar nalar “ hari
ini “ buat kepentingan masa depan yang masih jauh.
Kiai seperti tahu persis persoalan hari depan. Ia seperti tahu pasti dunia pendidikan khususnya pesantren, bakal rugi bila santri nakal itu diusir, sebab dengan begitu , kita memang lantas kehilangan kesempatan memiliki kiai besar, yang dulunya santri nakal itu.
Penulis pernah membaca kisah masa kecil Kanjeng Sunan Kalijaga, punyangga Kraton Solo, Ki Ronggo Warsito, dan buku cerita berisi kisah nyata dari Jepang , yang tertulis Tatsuko Kuronayagi, “Toto-Chan : Si Gadis Kecil di Tepi Jendela” kita makin yakin bahwa tiap kali berhadapan dengan murid nakal , kita diminta berhati hati mengambil keputusan. Mengusir murid, dan memfonis dia anak nakal, memang mudah, dan itu selalu menjadi pilihan terdekat . Pilihan lain seolah tidak ada. Kita seolah dalam kegelapan.
Totto-Chan, tokoh dalam buku ini, juga diusir dari sekolah karena bocah ini membikin kacau seluruh kelas. Gurunya pusing tujuh keliling menghadapinya, selalu ada saja gangguan yang di lakukan anak kecil itu. Ia pada waktu yang lain menggarap pelajaran, sibuk membuka, menutup,membuka dan menutup laci mejanya berkali-kali dan membikin gaduh, dengan kegaduhan mengganggu seluruh kelas . Padahal aturan sudah jelas: mebuka dan menutup laci meja dilarang bila pelajaran sedang berlangsung. Tapi Si Totto-Chan terus melakukannya.
Lain kali ia malah berdiri di tepi jendela, dan berbicara dengan seekor burung gereja ,seperti berbicara dengan sesama manusia. Dan pembicaraanya jelas sangat mengganggu seluruh kelas. Puncaknya, yang membikin sang guru habis kesabaran, Ketika ia tiba-tiba berteriak memanggil pengamen jalanan, minta agar si pengamen membunyikan music dan menyanyikan lagu . Pengamen disana tahu, didekat sekolah mereka tak boleh membunyikan music . Tapi karena merasa diminta , ia dengan senang hati menyanyi dan keras-keras memukul bunyi-bunyian yang hiruk pikuk. Dan bisa dibayangkan murid yang sedang menggarap pelajaran , kontan “ambyuk” semua ditepi jendela Bersama si Totto-chan, agar bisa melihat dunia sebelah sana.
Totto-chan diusir dari sekolah itu. Dan orang tuanya mencarikan sekolah lain. Sekolah “Tomoe”, yang kepala sekolahnya kreatif, sabar, bersikap longgar memahami perilaku anak-anak, tak terlalu banyak aturan yang menekan, dan sebaliknya, sekolah dibuat menjadi tempat paling menyenangkan boca-boca……
Pak Kobayashi, Kepala Sekolahnya,…..”otak” bagi sekolahan kreatif itu….amat memahami seluk beluk bagaimana cara memperlakukan murid. Baginya tak ada kata murid nakal , tak ada murid bodoh. Ketika Totto-Chan baru pertama kali masuk sekolah itu, sang guru mengajaknya bercakap cakap , sementara ibu Totto-Chan masih diluar menunggu. Toto bercerita selama empat jam terus menerus , dan kepala sekolah itu sabar mendengarkannya . Ia , bagi Totto, satu-satunya orang dewasa, yang mau mendengarkan ceritanya selama itu tanpa menengok jam tangan . Ia asyik , senang, gembira, segembira Totto-Chan sendiri. Dan hari itu juga Totto-Chan yang suka buat gaduh di sekolah lamanya , merasa memperoleh teman, merasa memperoleh perlakuan wajar. Di sekolah baru itu Totto-Chan menemukan dunianya. Dan kelak, setelah dewasa , ia menjadi seniman ternama di Jepang . Totto-Chan adalah Tetsuko Kuronayagi, pengarang itu sendiri.
Apa yang bakal terjadi bila Pak Kobayashi dan sekolah “Temoe” taka da? Totto-Chan mungkin pindah kesekolah lain. Dan disana ia akan berbuat sama seperti di sekolahnya terdahulu. Dan gurunya akan marah, dan mengeluarkannya ,. Dan orang tuanya akan mencarikan sekolah ke tiga , yang bisa saja membuatnya diusir lagi. Terus menerus diusir , ditampik, dibuang , dan dunia akan rugi, karena kita tak mendapat warisan berharga dari tulisannya. Dunia akan rugi karena murid yang kelak menjadi seseorang seniman yang baik diusir dari sekolah, dan mungkin menjadi gelandangan tak berarti.
Di masyarakat kita, persoalan ini sering sekali terjadi. Diberbagai tempat murid nakal diusir, dan orang tuanya mencarikan sekolah lain. Dan ditempat barupun gagal. Dan si murid nakal, yang tahu dirinya nakal dan dibenci orang lain, ia akan balas membenci orang lain. Ia akan melampiaskan dendam kepada berbagai pihak yang tak bersalah.
Kalau berpikir jauh-jauh , kadang kita harus mengakui bahwa ternyata lembaga pendidikan, yang tugasnya mendidik manusia, dan me manusiakan manusia malah punya andil terhadap terbentuknya perilaku nakal di masyarakat. Lembaga pendidikan pun punya andil terhadap premanisme,banditisme dan aneka macam perilaku criminal maupun corak-corak tindakan anti sosial lainnya.
Dunia pendidikan , mengapa dimana mana bermusuhan dengan anak nakal? Dan mengapa , juga di mana-mana dunia pendidikan selalu telat mengantisipasi keadaan ? Apa sebab, dalam batas tertentu, pendidkan malah tidak mendidik?
Kita mungkin lupa, dunia pendidikan bukan Lembaga korektif seperti Kejaksaan atau Kepolisian . Bila kejaksaan atau kepolisian melihat manusia dari patok-patok hukum,aturan,norma, tradisi, yang telah pasti-pasti, dan karena itu manusia lantas tampak jelas dari aturan patok-patok tersebuat, dunia pendidikan mestinya tidak.
Bila kejaksaan atau kepolisian Cuma, kasarnya, melihat dua jenis orang: orang patuh vs orang melanggar (hukum atau aturan), orang normal secara sosial vs orang anti sosial , orang baik vs orang jahat , orang terhormat vx buronan atau bandit, dunia pendidikan mestinya lebih kaya dengan kategori-kategori yang bisa digunakan melihat manusia.
Kita sering bertindak sebaliknya. Bila seseorang anak telah kelewat nakal, ia lalu diserahkan ke polisi., dikira dikepolisian ada tempat mendidik yang lebih baik. Disana umumnya anak justru lalu menjadi sebaliknya : semakin nakal, semaikn anti sosial, semakin dendam pada tatanan.
“Mesin” dalam jiwa manusia itu ruwet, jauh lebih ruwet dan lebih canggih dibanding computer yang bakal keluar tahun 2030 sekalipun. Kecanggihan cara memahami “mesin”dalam jiwa tadi karenanya juga harus disediakan . Dan idealnya , kecanggihan pemahaman “mesin” seperti itu mesti ada di dalam dunia pendidikan. Bila tidak , dunia pendidikan akan terus menerus tertinggal dalam mengantisipasi tingkah laku manusia peserta didik . Dunia pendidikan akan tetap tak bisa bersikap akomodatif terhadap perilaku manusia yang sedikit berbeda dari manusia lain.
Dunia pendidikan telah kehilangan sukma. Apa sebabnya? Mungkin , pertama, dunia pendidikan telah mereduksi dirinya menjadi sekedar Lembaga. Sebagai Lembaga , ia lantas sibuk menata dirinya agar pantas, dan memenuhi tuntutan kelembagaan, tuntutan administrative.
Sebagai Lembaga , ia menekankan keteraturan, ketertiban, displin, sopan santun,.Dan bahwa semua itu harus terpenuhi , harus terwujud. Murid harus paham itu semua. Murid harus penuh sikap sopan, patuh pada aturan, dan berhadapan dengan guru, mereka harus hormat. Kewibawaan guru jangan dilangkahi. Guru lebih terhormat dari pada murid.
Kedua, untuk menegakan itu semua, akibatnya Lembaga pendidikan bersikap kelewat normative. Cara pandang terhadap kelakuan murid bersifat hitam putih. Seperti Lembaga korektif (kepolisian dan kejaksaan ), Lembaga pendidikanpun menjadi kering, kurang longgar berhadapan dengan penyimpangan, damn murid pun terkotak ke dalam dunia jenis tingkah laku : anak baik vs anak makal, anak sopan vs anak badung,anak cerdas vs anak bodoh, anakrajin vs anak pemalas, anak pilihan vs anak buangan.
Bila dulu orang berbicara “Bahasa menunjukan bangsa” sekarang mungkin tidak . Bahasa di dunia persekolahan….kalau dunia pendidikan taka ada lagi sekarang demikian terpolusi Bahasa dunia “bawa”, dunia perbanditan juga. Murid membawa clurit dan mengancam guru, atau murid yang lebih besar mengompas uang saku, atau sepatu “mewah” atau sepeda murid yang lebih kecil.
Tentu saja banyak penyebab yang mendorong perilaku itu terjadi. Tetapi satu di antaranya mungkin jelas: sekolah bukan tempat nyaman bagi sebagian murid . Khusunya murid badung, murid malas,dan murid yang nilainya tak pernah bagus.
Televisi,koran,majalah, radio, cd, video pokoknya dunia yang lebih luas, mungkin besar pengaruhnya. Tatanan besar diluaran mungkin sudah “ambruk” dilihat dari kacamata pendidikan. Tetapi tatanan di dalam Lembaga pendidikan sendiri pun mungkin terancam ambruk.
Ketiga, Lembaga persekolahan mungkin juga sudah kehilangan orientasi jauh ke masa depan, bahwa ia sedang menyiapkan manusia-manusia masa depan yang lebih canggih dibanding manusia-manusia hari ini. Sebabnya mungkin juga jelas, dunia persekolahan telah menjadi begitu birokratis, dan berorientasi sangat teknis. Yang pokok bagaimana menyiapkan SAP,dan bagaimana memenuhi kurikulum. Perkara akibatnya anak-anak dijejali hafal sampai mabok tak menjadi soal, karena begitulah birokrasi pendidikan meminta . Jadi bila bahan pelajaran tak relevan dengan kebutuhan , dan bahwa anak didik , setelah selesai, menjadi kata penyair Rendra orang asing di dunianya mandiri, itu pun tak perlu dipusingkan.
Persaingan antara satu dunia persekolahan dengan dunia persekolahan lain memang ada. Makanya ada sekolah pilihan, sekolah faforit, di satu pihak, dan ada sekolah biasa, sekolah “miskin”, yang dipilih kalau sudah kepepet, di pihak lain.
“Apa pada dasarnya yang membedakan keduanya? Orientasi pendidikan yang lebih manusiawi, yang lebih membebaskan , yang memperlakukan murid sebagai manusia terhormat , sejajar dengan guru? ” “Bukan” Apa di sekolah yang baik itu murid lebih dipahami, dan anak nakal bisa sembuh di situ? Apa sekolah macam itu dirasa sebagai tempat paling nyaman bagi murid-murid, juga murid nakal?
“Tidak”
“Apa bedanya?”
“Mungkin secara sosial-ekonomis eletismenya. Artinya bahwa di sekolah yang baik, murid tahu orang tuanya membayar mahal, dan itu sudah cukup menjadi kebanggaan”
Di dunia persekolahan yang baik sekalipun, pada saat ini taka da jaminan bahwa bahwa pemahaman kemanusiaan pasti lebih dalam, lebih serius , hingga hubungan antar manusia di situ lebih hangat. Di mana-mana hubungan lebih teknis,formil, dan kita karenanya sukar untuk bisa sekedar tersenyum.
Keempat, muatan ideologi negara, yang menentukan sejarah ini , sejarah itu, ajaran ini ajaran itu atau bahan ini bahan itu harus diajarkan atau di tolak, membikin tajamnya kepentingan teknis dalam pendidikan hingga, sekali lagi, dunia pendidkan tereduksi menjadi dunia persekolahan, dan akibatnya dunia pendidkan kehilangan Sukanya seperti disebutkan tadi.
Di dunia persekolahan kita belajar untuk pintar. Tapi di dunia pendidikan , yang kini mungkin taka da lagi itu, kita diajarkan kepintaran, sekaligus dan ini yang lebih utama budi pekerti.Budi pekerti bisa ada di dalam pelajaran agama. Tapi kalau agama diajarkan secara teknis, agama akibatnya menjadi ilmu pengetahuan yang semata mengajarkan kepintaran otak, tapi kering dari nilai-nila yang lebih mulia.
Apa yang mesti kita lakukan?
Mungkin kita Kembali menghidup-hidup orientasi bahwa dunia pendidikan pada dasarnya memanggul warna idelogi tertentu. Ideologi. Ideologi itu mungkin ideologi pembebasan manusia dari keterkungkungan struktur. Dan kita, lewat dunia pendidikan yang harus dihidupkan Kembali, mengankat pihak-pihak yang terjerat kekakuan nilai, norma, aturan, hukum dalam masyarakat yang membuat mereka termarginalisasi, dan menerimanya di dunia pendidikan. Dengan begitu, dunia pendidikan bisa menjadi “tempat”aman dan nyaman secara bioligis maupun intelektual bagi siapa saja.
Ideologi yang dimaksud disini tentu bukanlah segala jenis isme-isme yang formal dan telah kita kenal sebagai ajaran. Melainkan segala hal yang sudah ada di sekitar kita sendiri, kita gali dari dunia kita, dan bila kuran.g, bisa saja kita gali dari dunia orang lain
Upaya memperlakukan manusia secara lebih manusiawi, sikap sesekali berani membebaskan diri dari keharusan yang diminta birokrasi demi pengembangan anak didik, misalnya,bisa menjadi contoh buat menjelaskan kata” ideologi yang membebaskan” tadi.
Sikap pendidik yang kreatif, sekolah yang menyediakan suasana lapang, menjadi dunia yang menyenangkan , dan bukan menakutkan bagi murid-murid, seperti dilakukan pak guru Kobayashi, atau kiai di pesantren yang disebut diatas, bisa menjadi tambahan penjelasan mengenai upaya membangun dunia pendidikan yang membebaskan tadi.
Hubungan guru- murid, dosen mahasiswa, kiai-santri, boleh saja dibawa kerangka struktur aturan birokrasi tertentu. Semuanya itu tidak salah sejauh struktur tak lantas menjadi raja diraja, dan kehangatan kemanusiaan hilang sebagai akibatnya.
Guru mungkin tak perlu terlalu dihormati, dan murid tak perlu bersikap sangat sopan. Kredibilitas moral guru sebagai manusia tak berkurang bila murid ada yang berbuat begitu. Memperlakukan murid sebagai kawan tak berarti menurunkan derajat guru. Pendidik yang berkawan dengan anak didik malah bagus.