Refleksi Terhadap Sebuah Keputusan

Oleh : Jan Willem Ongge

Jan Willem Ongge

Jayapura, Teraspapua.com – Dia duduk di ruangannya yang ramai, rasa kecewa dan sedih melanda hatinya dalam kedamaian yang menyelimuti ruangan. Dia melepaskan tangisnya perlahan, air mata mengalir membasahi pipinya yang pucat.

Hasil pleno pileg 2024 telah diumumkan, namun hatinya tak bisa menerima keputusan yang penuh rekayasa tersebut. Hatinya terpilu mengetahui bahwa pileg 2024 yang seharusnya menjadi ajang demokrasi dan keadilan telah dipenuhi oleh manipulasi dan pesanan dari para saudagar.

Dia harus memenangkan non OAP, bukan karena kemampuannya atau dukungan rayat, karena pesanan dari orang yang berkuasa mengatur sang ketua.

Dengan berat hati, sang Ketua melangkah kedepan untuk mengumumkan hasil pileg yang penuh kontroversi. Dia mencoba menahan rasa sesak dan kecewa yang teramat dalam, namun dalam diamnya, hatinya menangis hancur.

Di bulan Rahmadhan yang suci saat itu, sementara umat Nasrani juga sedang menjalani minggu-minggu sengsara Yesus Kristus yang Kudus itu, ketika dia dan jutaan masyarakat Papua sedang melaksanakan ibadah puasa dan minggu sengsara, hatinya seakan teriris oleh keputusan yang tak adil itu.

Bagaimana mungkin dirinya bisa melangkah sebagai pemimpin yang baik. Bagaimana mungkin hatinya bisa tenang ketika tindakan yang dilakukan telah merugikan rakyat dan merusak demokrasi?. Dalam kegundahan ruangannya, sang pemimpin merasa rapuh.

Dia merenungkan beban yang harus dipikulnya, beban dari keputusan yang tak sesuai dengan keadilan. Hati kecilnya menjerit hingga tak tertahankan, tidak rela menyaksikan tindakan yang merusak martabat dan moralitas.

Mata berkaca kaca, air mata menyusuri pipi yang pucat. Sang pemimpin merasakan dirinya hancur, tercabik antara tuntutan politik dan nurani yang menolak untuk disesatkan.

Bagaimana dia bisa memimpin dengan mulia jika langkah pertamanya adalah langkah yang penuh rekayasa dan manipulasi? Dalam terang ruangan, sang pemimpin menangis dalam diam.

Tangisannya bukanlah tangisan kelemahan, melainkan tangis kepedihan karena harus berhadapan dengan keputusan yang ia tahu tidak benar.

Hatinya teriris dan terluka, namun didalamnya juga merebak api keinginan untuk membawa perubahan yang sejati denagn langkah gemetar, sang pemimpin keluar dari ruangan.

Ia harus menghadapi kenyataan pahit ini dengan kepala tegak, meskipun hatinya hancur berkeping-keping.

Dia memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin terpilih, namun dalam dirinya terus menggelora penolakan akan hasil yang tidak sah itu.

Dalam bulan yang suci ini, di sat rakyat seharusnya bersatu dalam semangat keadilan dan kejujuran, sang pemimpin harus menghadapi paradox kehidupan politik yang penuh intrik dan keserakahan kekuasaan.

Namun, di balik segala kesedihan dan kecewa, ada cahaya kebenaran yang bersinar dalam hatinya, mengingatkannya bahwa perjuangan untuk kebenaran harus terus dilakukan.

Meski jalannya penuh liku dan rintangan Dan dalam tangisan batin yang mengalir deras, sang pemimpin bersumpah untuk tidak membiarkan keputusan yang tidak adil merusak hati kecilnya yang tulus.

Meski berat, meski penuh kesedihan, dia akan tetap berdiri tegar demi keadilan, demi rayatnya, dan demi masa depan yang lebih baik dari sidang yang biasa tunggu dari MK terkait sengketa katanya

“ Semoga Keadilan berpihak pada Kebenaran “