Menanti Hati Nurani Di Dalam Kelas

Oleh Drs. Jan Willem Ongge, M. Pd, M.Th. Mahasiswa Program Doctor Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia

KERUSUHAN dan aksi-aksi anarkis, termasuk demo-demo yang marak terjadi blakangan ini di berbagai daerah di seluruh Indonesia termasuk kita di Papua. Kalau orang mau berbesar hati dan jujur untuk mengatakan, ternyata disebabkaran oleh perkara-perkara yang sepele.

Kondisi sosial bermasyarakat yang terhimpit dengan berbagai krisis sangat kondusif untuk menyulut permusuhan, tawuran dan saling membunuh. Kualitas konflik dan kesadisannya pun sudah dalam taraf yang mengkhawatirkan . Tidak berbeda jauh dengan manuver para elit politik kita, tindak tanduknya tidak lagi memikirkan kepentingan dan keselamatan bangsa . Yang dipikirkan hanya kepentingan partai, kekuasaan, harta dan materi.

Perilaku yang menyimpang dari sebagian masyarakat kita terbentuk, akibat kurang pekanya dunia pendidikan menempatkan hati nurani dalam membentuk masyarakat yang hidup dalam stigma pluralisme, menghargai perbedaan dan nilai-nilai humanisme. Insan pendidikan kita selaama ini seolah terpaku dengan pola pendidikan yang melihat kuantitas dan bangunan fisik sebagai indicator pengembangan pendidikan.

Fokus pendidikan kita sudah seharusnya membicarakan proses apa yang terjadi dalam kelas. Bagaimana suasana dan komunikasi belajar dan mengajar yang terjadi. Bagaimana empati guru dalam memberikan pelajaran. Dan, yang terpenting, bagaimana guru memberikan teladan moral dan budi pekerti untuk memupuk hati nurani pada tingkat kepekaan tinggi terhadap sesama, serta semanagat membangun bangsa dan negara . Guru harus mampu mendidik dan mengajarkan ilmu yang tidak terlepas dari ketajaman hati nurani

Guru, harus mampu mengajarkan sains yang mereflesikan kebesaran Tuhan, menjelaskan kegunaan teknologi dengan hati nurani, mengajarkan sosiologi dengan moral dan etika. Guru juga harus bisa menghukum anak dengan ketegasan dan kasih sayang, memimpin anak dengan ketulusan hati nurani, membe rikan sikap dan perbuatan yang pantas diteladani.

PANDANGAN humanistik klasik dari Kratwol dan Bloom mengklasifikasikan, terdapat tiga ranah dalam pendidikan , yaitu: kognitif, afektif dan psikomorik. Ranah yang sifatnya menambah pengetahuan , berpikir, kepandaian, dan lebih bersifat ilmiah. Ranah afektif lebih bersifat tentang sikap, pembentukan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan langsung dengan aspek keterampilan, kecakapan, Latihan (skill)

Pendidikan budi pekerti merupakan bagian dari ranah afektif, yaitu pendidikan sikap dan perilaku yang merupakan bagian integral dari lingkungan bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan afektif di sekolah , selama ini lebih banyak bersifat indoktrinasi. Padahal, pendidikan afektif membutuhkan contoh perbuatan dalam berbangsa dan bernegara.

Pendidikan budi pekerti tidak didapat dari sekolah , tetapi dari interaksi dalam masyarakat dan institusi keagamaan. Selama kita mengabaikan character building dalam kehidupan masyarakat, selama itu pula kita berada dalam kepincangan untuk menanamkan budi pekerti, betapapun baiknya pelajaran budi pekerti di sekolah. Selepas sekolah anak mengalami banyak deviasi perbuatan antara yang dipelajari di sekolah dengan kondisi lapangan.

Pendidikan budi pekerti tidak terlepas dari karakter pemerintahan yang berbudi pekerti. Bila kita tengok negri tetangga kita Singapura, kurikulumnya sendiri hanya memberikan pelajaran civic, sedangkan ketaatan dan kedisipilnan masyarakat didukung oleh pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Penanaman nilai dan contoh masyaraktanya memberikan teladan bagi siswanya untuk menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

PENDIDIKAN nilai , moral dan etika merupakan hidden curriculum yang secara integral terkait dengan hampir semua mata pelajaran. Keberhasilan menanamkan budi pekerti akan sangat tergantung dari seberapa jauh penyelenggara pemerintah dan masyarakat memberikan teladan pada anak -anak kita. Pendidkan budi pekerti tidak dapat diberikan dengan pengajaran di tengh-tengah pelanggaran moral dan anomaly yang terus terjadi.

Pendidikan budi pekerti membutuhkan fakta yang mempunyai makna yang dapat diteladani. Kita juga melihat bagaimana anak-anak di Australia telah terlatih untuk antre berjalan dengan kesadaran pemimpin antrean selalu menjadi pemandu jalan yang akan membukakan pintu untuk rekan-rekannya, serta bagaimana rekan-rekannya mengucapkan kata terima kasih secara bergiliran setelah melewati pintu itu.

Dalam kurikulum yang sekarang , bukannya tidak sama sekali kita tidak memberikan sentuhan moral pada pelajar kita. Kita mempunyai “pelajaran” Pendidikan Pancasila dan Kewargaannegara (PPKn) yang sesungguhnya dapat kita gali nilai-nilai budi pekerti. Di dalamnya juga diajarkan toleransi, menghargai, cinta tanah air, kesusilan, patriotisme dan lain sebagainya.

Nilai-nilai luhur merupakan warisan budaya para pendiri bangsa Indonesia yang berbeda suku dan budaya namun tetap satu, jiwa kesatuan dan persatuan inilah yang membuat bangsa Indonesia tetap kokoh berdiri. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, mengandung nilai-nilai luhur yang bertumbuh dan berkenbang menjadi kekuatan bangsa Indonesia.

Bung Karno pernah bertanya kepada presiden Yugoslavia, Josep Broz Tito, kurang lebih sebagai berikut : “ Tuan Tito, jika anda meninggal nanti bagaimana nasib bangsa anda, dengan bangga Tito berkata, “ Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami. Setelah menjawab pertanyaan itu, Tito gantian bertanya, lah bagaimana dengan negara anda, sahabatku ? Dengan bangga Bung Karno berkata, Aku tidak khawatir karna aku telah meninggalkan bangsaku dengan sebuah Way of life, yaitu Pancasila.

Seharusnya apa yang disampaikan Bung Karno menjadi dasar kekuatan bangsa kita guna menangkal tiap bentuk perpecahan di negri yang ber BHINEKA TUNGGAL IKA.