Poksus DPRP Usul Buat Regulasi Dana Bagi Hasil Dari Kebun Sawit di Provinsi Papua

Ketua Poksus DPR Papua, Jhon NR Gobai. Didampinggi anggota Poksus.

Jayapura,Teraspapua.com – Di beberapa daerah di Papua, terdapat ratusan hektar bahkan ribuan hektar sawit yang ditanam oleh perusahaan-perusahaan yang diberikan izin oleh pemerintah.

Penerimaan dari sawit ini selama ini disetor ke pemerintah pusat, sedangkan setoran kepada pemerintah daerah jumlah yang diberikan masih sangat kecil, tidak sebanding dengan jumlah sawit dan minyak sawit yang keluar dari pohon sawit ditanam di tanah Papua, ujar Ketua Kelompok khusus (Poksus), John NR Gobai, kepada media ini, Jumat (2/12/2022).

banner 325x300banner 325x300

Dijelaskan Gobai, kehadiran perusahaan kelapa sawit di tanah ini, sering terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. Untuk itu menurut kami tidak perlu lagi ada penambahan kebun kebun sawit, karena kehadiran sawit telah merusak sumber kehidupan masyarakat, seperti merusak sumber obat- obatan herbal, banyak daerah pinggiran terjadi banjir.

“Untuk itu, hal ini penting yang harus dilakukan adalah kebun-kebun sawit yang ada itu, haruslah dipikirkan untuk dapat memberikan kontribusi kepada daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH),” terang Gobai.

Dikatakannya, dalam rangka menambah pendapatan asli daerah, Poksus DPR Papua menyarankan kepada pemerintah Provinsi Papua, untuk dapat menginisiasi adanya produk hukum daerah bagi hasil kelapa sawit di Provinsi Papua.

Gobai pun menuturkan seperti kutipan dari sindonews.com, menurut Wiko Saputra, Penerimaan pajak terdiri atas penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea keluar (BK). Sementara PNBP terdiri atas pungutan ekspor (PE) dan penerimaan dari penyaluran benih sawit.

Pada tahun 2018, total penerimaan negara sekitar Rp 27 triliun (Kementerian Keuangan, 2018). Meski demikian, hanya sebagian kecil hasil penerimaan negara dari sawit yang ditransfer ke daerah. Misalnya, PBB perkebunan dan PPh pasal 21 (karyawan) dan pasal 25/29 (orang pribadi).

PBB perkebunan 90 persen sudah ditransfer ke daerah, sedangkan PPh pasal 21 dan pasal 25/29 baru 20 persen. Keduanya pun bukan penerimaan utama dari sektor sawit karena penerimaan terbesar adalah PPh badan dan pungutan ekspor.

Merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, sebagian besar kewenangan dalam tata kelolanya berada di tangan pemerintah daerah, misalnya, kewenangan dalam perizinan dan pengawasan. Artinya, secara prinsip dasar desentralisasi, kasus ini tidak lazim, karena tidak berfungsinya prinsip money follow function.

Oleh karena itu, Gobai menegaskan Provinsi dan kabupaten-kabupaten di Papua tidak cukup hanya menjadi penonton atau hanya memilih menyaksikan dibukanya kebun-kebun sawit di Tanah ini. Tetapi haruslah kebun-kebun sawit ini dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang ada disekitar tetapi juga bagi daerah harus ada DBH Sawit.

Menurutnya, hasil dari dana bagi hasil (DBH) dari perkebunan kelapa sawit ini, diharapkan dapat memberikan manfaat atau dapat digunakan untuk pengembangan masyarakat yang ada di sekitar kebun kebun kelapa sawit. Dan juga pengembangan pengembangan masyarakat adat dan kampung-kampung yang ada di sekitar kelapa sawit.

Dirinya pun berharap, Pemerintah pusat haruslah dapat memberikan payung hukum kepada daerah untuk dapat mengatur dalam regulasi daerah mengenai dana bagi hasil dari perkebunan kelapa sawit, karena selama ini kita hanya mendengar dana bagi hasil minyak dan gas, dana bagi hasil dari tambang dan dari sektor lainnya yang disebut dengan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.

“Hal ini penting dilakukan, untuk menciptakan keadilan bagi seluruh daerah di Papua dan juga di Indonesia. Lainnya yang daerahnya banyak ditanami atau dibuka kebun kebun kelapa sawit, bangun kawasan industri sawit dan ekspor langsung dari Papua, agar PPh badan dan pungutan ekspor ditarik oleh Papua,” pungkasnya.