Jayapura, Teraspapua.com – Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Papua semakin dekat di provinsi Papua, kita dihadapkan pada pilihan politik yang akan menentukan arah masa depan tanah ini. Pilihan kita bukan hanya tentang siapa yang lebih populer atau siapa yang memiliki banyak baliho di jalanan. Pilihan kita adalah tentang siapa yang benar-benar mengerti Papua dari hati, dari akar, dan dari luka-luka sejarahnya.
Saya sebagai warga negara yang memiliki hak pilih di provinsi Papua, tidak bisa memilih kedua pasangan calon gubernur secara bersamaan. Dengan segala hormat kepada kedua pasangan calon gubernur, saya harus menentukan pilihan kepada satu calon saja sesuai aturan di negara ini.
Saya menginginkan perubahan melalui sosok Benhur Tomi Mano (BTM) sebagai Gubernur Povinsi Papua (induk). Dukungan ini lahir dari pertimbangan yang dalam, bukan emosional, tetapi rasional dan historis. Ada enam alasan saya memilih BTM:
Pertama, BTM adalah politisi sipil berpengalaman, bukan dari latar belakang aparat keamanan. Kepemimpinan dalam konteks Papua membutuhkan sensitivitas sosial, budaya, dan kemanusiaan yang tinggi. Menurut saya, pemimpin dari kalangan sipil, seperti BTM, justru lebih dekat dengan realitas hidup rakyat Papua sehari-hari.
Selama ini, pendekatan aparat keamanan terhadap persoalan Papua seringkali tidak menyentuh akar masalah. Pemimpin dari latar belakang aparat, meskipun sudah pensiun, cenderung membawa pendekatan struktural yang berbasis komando dan kekuatan, bukan pelayanan dan komunikasi dua arah. Hubungan emosional dan loyalitas terhadap institusi keamanan juga bisa mengaburkan keberpihakan mereka terhadap aspirasi sipil.
Sebaliknya, BTM telah membuktikan selama dua periode sebagai Wali Kota Jayapura bahwa ia mampu memimpin dengan cara-cara yang mengedepankan partisipasi, bukan tekanan. Ia hadir di tengah rakyat, bukan di balik pagar institusi. Ia mendengarkan, bukan hanya memberi perintah.
Walaupun mungkin ada kritik terhadap kepemimpinan BTM selama menjadi Walikota, namun ingat bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna. Apalagi daerah seperti Papua yang tensi politiknya tinggi dan cenderung diintervensi pusat dalam banyak hal sehingga tidak bisa melimpahkan kritik kepada BTM saja, itu tidak adil.
Kedua, konsistensi iman BTM menjadi cerminan integritas dan komitmen. BTM adalah tokoh yang konsisten dalam iman. Ini bukan soal sektarianisme, tetapi tentang prinsip dan integritas pribadi. Di Papua, keimanan bukan hanya soal spiritualitas, tetapi bagian tak terpisahkan dari identitas sosial dan politik.
Dalam sejarah Papua, kita telah menyaksikan banyak pemimpin yang ‘berubah warna’ ketika sudah berada di dalam lingkar kekuasaan. Konsistensi BTM dalam iman dan nilai- nilai kepapuaan adalah fondasi kuat untuk sebuah pemerintahan yang jujur dan tahan uji.
Ketiga, BTM adalah Putra asli Mamta, wilayah ada yang menjadi ibukota provinsi Papua. Konteks wilayah adat tidak bisa diabaikan dalam struktur politik di Tanah Papua. Pembagian wilayah adat di Tanah Papua bukan hanya warisan budaya, tetapi juga mekanisme sosial-politik untuk menjaga keseimbangan dan representasi. Provinsi Papua saat ini mencakup wilayah adat Tabi dan Saireri. Maka, sudah selayaknya kepala daerah yang memimpin provinsi ini berasal dari wilayah adat ini.
Analogi sederhananya, jika Papua adalah rumah adat besar, maka setiap wilayah adat harus mendapat gilirannya untuk menjadi “kepala suku” sesuai domisilinya. BTM bukan
hanya berasal dari wilayah ini, tetapi juga tumbuh, hidup, dan mengabdi di dalamnya.
BTM paham bahasa adat, tradisi lokal, roh leluhur dekat dengannya, dan mengerti dinamika sosial masyarakat setempat. Ini penting agar kebijakan-kebijakan yang diambil tidak bertabrakan dengan nilai-nilai kultural lokal. Tentu saja, saudara-saudara kita dari La Pago, Mee Pago, Anim Ha, Doberai, dan Bomberai juga berhak memimpin sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, tetapi pada ruang wilayah otonomi mereka sendiri. Dalam konteks Papua induk (Mamta-Saireri), representasi dari wilayah ini adalah manifestasi dari keadilan kultural.
Keempat, OAP harus menjaga ruang kepemimpinan di wilayah Sendiri. Dalam sistem demokrasi nasional (Indonesia), Orang Asli Papua yang tidak memiliki peluang realistis untuk menjadi kepala daerah di luar Papua.
Hal ini bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem demokrasi mayoritas cenderung menutup ruang bagi kelompok minoritas. Papua adalah satu-satunya ruang politik di mana OAP masih bisa memimpin. Maka, mempertahankan kepemimpinan ini bukan tindakan diskriminatif, tetapi bentuk afirmasi terhadap hak-hak minoritas dalam sistem yang didominasi kelompok mayoritas.
Di Indonesia, sejak kemerdekaan, Presiden selalu berasal dari kelompok mayoritas, baik dari sisi agama maupun suku, dan itu diterima sebagai “kenyataan politik.” Mengapa prinsip itu tidak boleh diterapkan di Papua? Ketika kelompok mayoritas nasional mempertahankan kekuasaan mereka, itu disebut stabilitas. Tetapi ketika kelompok minoritas seperti OAP ingin mempertahankan ruang kepemimpinan di wilayahnya sendiri, itu disebut diskriminasi? Ini standar ganda yang tidak adil.
Kelima, Sedikit dukungan partai, tapi banyak dukungan rakyat menandakan demokrasi sehat. BTM tidak didukung oleh mayoritas partai politik besar nasional. Banyak yang mungkin melihat ini sebagai kekurangan, tapi menurut saya, justru di situlah letak keistimewaannya BTM. Ini menandakan bahwa BTM bukan bagian dari “kartel politik” yang kini mulai merasuki demokrasi kita di Indonesia.
Mari kita kritisi fenomena ini, ketika hampir semua partai mendukung satu pasangan calon, di mana posisi rakyat? Di mana keberagaman pilihan? Bukankah demokrasi seharusnya memberi ruang bagi banyak pilihan? Partai politik di Indonesia sebagian besar dimiliki oleh elite di Jakarta (partai keluarga).
Mereka mengelola partai layaknya bisnis keluarga. Ketika semua partai kompak mendukung satu calon, ada kemungkinan besar bahwa Papua hanya dijadikan ladang bisnis politik dan ekonomi oleh elite-elite tersebut. Mereka tidak datang untuk melayani rakyat, tapi untuk menanam investasi kekuasaan.
Sebaliknya, dukungan kecil dari partai terhadap BTM justru menunjukkan bahwa mereka tidak tunduk pada kepentingan elit pusat. Mereka hadir sebagai calon rakyat, bukan boneka partai. Meskipun partai yang mengdukung BTM juga milik keluarga di Jakarta, namun perbandingan pengaruhnya tergolong sedikit meskipun ada dibandingkan kongsi besar.
Keenam, Papua butuh pemimpin sipil untuk merajut perdamaian dan Rekonsiliasi. Papua adalah wilayah dengan sejarah panjang kekerasan, konflik, dan ketidakpercayaan antara negara dan rakyat. Oleh karena itu, jabatan strategis seperti gubernur, wakil gubernur, bupati, dan walikota harus diisi oleh tokoh sipil yang mampu membangun dialog dan rekonsiliasi.
BTM, sebagai tokoh sipil, membawa harapan akan adanya pemerintahan yang lebih partisipatif, transparan, dan dekat dengan sipil. Mereka bisa menjadi jembatan antara pemerintah pusat dan rakyat, bukan tembok kekuasaan yang membatasi.
Sebagai penutup, saya mendukung BTM bukan karena beliau bersih tanpa cela, tetapi karena saya yakin beliau lebih mendekati harapan rakyat Papua hari ini. Pemimpin yang lahir dari rakyat, tumbuh bersama rakyat, dan bersedia berjalan bersama rakyat dalam suka maupun duka.
Papua bukan daerah biasa. Papua adalah tanah dengan sejarah kompleks, budaya kaya, dan trauma mendalam. Maka, memilih pemimpin bukan sekadar memilih orang yang bisa bekerja, tetapi orang yang bisa mengerti. BTM adalah pilihan saya.
BTM mungkin bukan pilihan semua orang, tapi dalam demokrasi, setiap suara punya hak untuk didengar. Kalau saya bisa memilih keduanya sekalian maka saya akan pilih dorang dua, tapi karena harus memilih satu, maka pilihan saya adalah Benhur Tomi Mano dan Constant Karma (BTM-CK).