PAPUA  

Yanni : Papua Layak Ditetapkan sebagai Tanah Injili yang Diberkati

Jayapura,Teraspapua.com – Anggota Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP Otsus Papua), Yanni, mewacanakan perlunya penegasan identitas kultural dan spiritual Papua melalui predikat “Tanah Injili yang Diberkati.”

Menurutnya, gagasan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap sejarah, nilai, dan karakter masyarakat Papua yang berakar kuat pada spiritualitas dan keimanan.

Gagasan tersebut telah disampaikan Yanni kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam Rapat Pleno Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) di Manokwari Papua Barat beberapa waktu lalu.

Yanni menjelaskan, sebutan Tanah Injili tersebut bukan dimaksudkan untuk menutup ruang bagi agama lain, melainkan simbol kebanggaan terhadap sejarah panjang peradaban dan misi sosial-keagamaan yang telah membentuk karakter masyarakat Papua.

“Di barat ada Aceh dengan sebutan Serambi Mekkah, di tengah ada Bali sebagai Pulau Dewata. Maka Papua yang berada di ujung timur Indonesia juga patut dikenali dengan identitas yang bermartabat,Tanah Injili yang Diberkati,” ujar Yanni kepada wartawan di Jayapura Papua, Jum’at (7/11/2025).

Yanni menambahkan bahwa penjelasan ini disampaikannya secara lebih rinci kepada wartawan karena saat rapat bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Manokwari, waktu yang tersedia sangat terbatas, hanya tiga menit, sehingga banyak hal penting belum sempat dijelaskan secara utuh.

Wacana ini sejalan dengan pendekatan fungsional-struktural dalam sosiologi klasik, sebagaimana ditegaskan oleh Emile Durkheim, bahwa agama dan simbol-simbol kolektif memiliki fungsi sosial yang mendalam. Yakni memperkuat solidaritas sosial dan membentuk kesadaran moral bersama yang menjadi dasar kohesi masyarakat.

Durkheim menjelaskan bahwa setiap komunitas memerlukan representasi kolektif seperti simbol, nilai, atau keyakinan bersama yang memberi makna bagi kehidupan sosial. Simbol-simbol semacam ini tidak hanya merepresentasikan keyakinan spiritual, tetapi juga menjadi perekat sosial yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan identitas kolektif.

Dalam konteks Indonesia, simbol-simbol seperti “Serambi Mekkah”, “Pulau Dewata”, dan usulan “Tanah Injili yang Diberkati” berfungsi sebagai representasi kolektif yang memperkuat kohesi nasional melalui pengakuan terhadap keunikan lokal dan ekspresi spiritual daerah.

“Penobatan Papua sebagai Tanah Injili yang Diberkati dapat dipahami sebagai bentuk representasi kolektif, yakni simbol yang mengikat masyarakat Papua dalam identitas moral dan spiritual bersama,” jelas Yanni.

Papua, menurut Yanni, memerlukan afirmasi identitas yang meneguhkan martabatnya dalam struktur kebangsaan.

“Papua adalah bagian integral dari Indonesia, dan dengan menegaskan jati diri budaya dan spiritualnya, justru akan memperkokoh rasa memiliki terhadap negara,” tegasnya.

Yanni menilai bahwa gagasan ini menegaskan posisi Indonesia sebagai bangsa paling toleran di dunia. Berbeda dengan banyak negara yang kesulitan mengelola perbedaan, Indonesia mampu menjadikan keragaman sebagai kekuatan, dari Islam di barat, Hindu di tengah, hingga tradisi Injil di timur.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Pancasila sudah terpatri sebagai ideologi dan civil religion yang hidup dan dipraktikkan dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Pujian dunia terhadap Presiden Prabowo Subianto yang menyampaikan salam lintas agama “Assalamu’alaikum, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya” di Majelis Umum PBB menjadi simbol aktual dari semangat itu.

Salam tersebut disambut hangat oleh banyak delegasi, bahkan ucapan salam “Shalom” Presiden Prabowo diulas dengan heboh oleh media Israel. Padahal di tanah air itu itu merupakan salam yang normal sebagai ekspresi saling menghormati antar pemeluk agama.

Yanni menyebut momen itu sebagai cermin karakter bangsa Indonesia yang besar karena keberagamannya.

“Salam yang disampaikan Presiden Prabowo di PBB adalah refleksi konkret Indonesia sebagai bangsa toleran. Papua sebagai Tanah Injili yang Diberkati justru memperkuat pesan itu, bahwa dari ujung barat hingga timur, kita diikat oleh iman, moral, dan kemanusiaan yang sama,” jelas Yanni.

Dalam pandangan Ketua DPD Gerindra Provinsi Papua ini, Otonomi Khusus Papua jangan hanya dipahami sebagai kebijakan fiskal dan administratif, tetapi juga sebagai proyek kemanusiaan dan spiritualitas.

Dengan mengakui Papua sebagai Tanah Injili yang Diberkati, pembangunan dapat diarahkan pada penguatan nilai-nilai etika, kejujuran, dan kemanusiaan.

“Pembangunan tanpa nilai akan kehilangan arah. Karena itu, Otsus harus mengandung roh moral, yang menghidupkan semangat kasih, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial di Tanah Papua,” pungkas Yanni.