Jakarta, Teraspapua.com – Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, mengguncang dunia dan mendapat pujian dari berbagai kalangan dan dinilai telah menempatkan dirinya sebagai salah satu pemimpin dunia alternatif yang patut diperhitungkan.
Dalam pidatonya yang disampaikan pada sidang umum PBB tahun ini, Prabowo menawarkan pendekatan baru dalam upaya menyelesaikan konflik global. Ia menyerukan kolaborasi lintas negara untuk menciptakan kesejahteraan bersama dan perdamaian berkelanjutan.
Salah satu pengamat geopolitik, Direktur Geopolitik dari GREAT Institute, Dr. Teguh Santosa, menyebut pidato tersebut sebagai salah satu yang terbaik dalam Sidang Majelis Umum PBB tahun ini.
“Pidato Presiden Prabowo merupakan salah satu pidato paling kuat dan visioner di Sidang Umum PBB tahun ini. Saya kira pidato ini akan dikenang dalam waktu yang lama, sebagaimana pidato Presiden Soekarno di PBB tahun 1960 yang berjudul “To Build the World Anew”,” ujar Teguh Santosa dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi pada Kamis, 25 September 2025.
Dalam sesi tersebut, Prabowo menjadi pembicara ketiga setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Menurut Teguh, jika pidato Presiden Trump terkesan datar dan kurang mendapatkan respons dari hadirin, sebaliknya pidato Prabowo justru mendapat sambutan hangat dan pujian dari berbagai kalangan.
“Presiden Prabowo tidak hanya menyuarakan pentingnya persatuan umat manusia yang melampaui perbedaan ras, agama, dan kebangsaan, tetapi juga menyampaikan berbagai
tantangan nyata yang tengah dihadapi dunia saat ini,” kata Teguh, yang juga dikenal sebagai dosen Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Prabowo juga memaparkan sejarah panjang perjuangan Indonesia, dari era kolonialisme hingga menjadi negara demokratis yang berpengaruh di kawasan dan aktif dalam diplomasi global. Ia menegaskan bahwa pengalaman Indonesia membuktikan pentingnya solidaritas internasional sebagai modal utama untuk menciptakan perdamaian yang hakiki.
Dalam pidatonya, Prabowo juga menyentil apa yang disebut sebagai “doktrin Thucydides”, sebuah prinsip kuno yang sering digunakan sebagai pembenaran atas dominasi negara kuat terhadap negara lemah. Doktrin ini berasal dari Thucydides, sejarawan Yunani Kuno yang menulis bahwa negara kuat akan melakukan apa saja yang mereka inginkan, sementara negara lemah harus menerima nasib mereka.
Teguh menilai, keberanian Presiden Prabowo dalam menolak doktrin tersebut dan menyerukan kesetaraan dalam tatanan global merupakan langkah penting dalam membangun sistem internasional yang lebih adil.
“Pidato ini memberikan tantangan moral kepada negara-negara besar untuk mengakhiri praktik penjajahan terselubung dan dominasi atas negara-negara berkembang,” tambah Teguh, yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK).
Isu Palestina juga menjadi salah satu poin penting dalam pidato Prabowo. Ia menegaskan komitmen Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina dan menyatakan kesediaan Indonesia untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke wilayah tersebut.
“Prabowo menunjukkan bahwa Indonesia tidak sekadar menjadikan isu Palestina sebagai alat politik, tetapi benar-benar serius dalam membela hak-hak rakyat Palestina,” ujar Teguh.
Lebih lanjut, Teguh mendorong negara-negara Eropa dan sekutu Israel yang mulai menunjukkan perubahan sikap terhadap isu Palestina agar turut serta dalam upaya damai yang konkret.
“Saya kira, setelah Indonesia menyatakan kesediaannya, negara-negara lain yang telah mengubah pandangannya terkait kemerdekaan Palestina juga seharusnya mengambil langkah serupa, termasuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaian,” tutup Teguh.
Pidato Prabowo di forum internasional bergengsi tersebut dinilai telah memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang aktif mempromosikan perdamaian dan keadilan global.
Gaya komunikasi yang lugas, substansi pidato yang dalam, serta pesan moral yang kuat menjadikan momen ini sebagai salah satu tonggak penting dalam diplomasi luar negeri Indonesia di era kepemimpinan Prabowo Subianto.