Jayapura,Teraspapua.com – Indonesia merupakan produsen bijih nikel terbesar di dunia pada 2019. Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia memproduksi 800.000 ton, jauh mengungguli Filipina 420.000 ton, Rusia 270.000 ton, dan Kaledonia Baru 220.000 ton, olehnya itu Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan hilirisasi sektor tambang, khususnya nikel.
Berdasarkan pemetaan Badan Geologi Kementerian ESDM pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton yang terdiri atas tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 juta ton, dan hipotetik 228 juta ton. Kemudian, cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton, berupa terbukti 3.360 juta ton dan terkira 986 juta ton.
Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.
“Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini,” ungkap Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono dalam Webiner Masa Depan Hilirisasi Nikel Indonesia, Rabu (14/10/2020).
Dijelaskan Lelono Konsekuensinya hilirisasi, komoditas tambang yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah, harus diolah terlebihdahulu menjadi barang setengah jadi. Ada pertambahan nilai di situ, bukan hanya berupa kenaikan laba, tetapi juga berupa penciptaan lapangan kerja, meningkatnya nilai rantai pasok industri pendukung, munculnya usaha rakyat di lokasi tambang, dan secara otomatis meningkatkan devisa negara melalui investasi.
Implementasi hilirisasi sektor tambang harus diwujudkan dengan membangun fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Proses tersebut telah meliputi pembersihan mineral logam dari pengotor dan pemurnian, sambungnya.
Itulah yang dikenal sebagai industri smelter atau sederhananya bisnis peleburan (smelting-RED). Dalam satu dekade terakhir, investasi dan pembangunan smelter banyak menghiasi laman media. Ada banyak rencana investasi dan pembangunan smelter, dari mulai Freeport yang berencana membangun smelter tembaga di Gresik, hingga janji-janji para importir yang selama ini menikmati murahnya barang tambang mentah, lanjutnya.
Lihat misalnya Freeport, pada Oktober 2020 lalu mengumumkan bahwa pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan atau smelter tembaga di Gresik mencapai 5,86 persen. Padahal, rencana pembangunan smelter Freeport itu sudah dimulai sejak 2017, karena menjadi syarat perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana ketentuan dalam UU minerba.
Ternyata Freeport baru merealisasikan rencana pembangunan smelter tersebut pada akhir Juli 2020. Itupun, pada November lalu tiba-tiba secara sepihak Freeport membatalkan rencana pembangunan smelter baru tersebut. Pihak Freeport mengatakan akhirnya memilih kebijakan ekspansi smelter eksisting, yaitu melalui PT Smelting.
Pada titik ini, Indonesia kembali dibohongi investasi smelter. Namun, isu strategis ini tidak ada yang memperhatikan sama sekali. Mengapa harus dikatakan Indonesia dibohongi? Bagaimana tidak, dalam keterbukaan publik Freeport mengaku sudah mengeluarkan biaya pembangunan smelter baru di Gresik yang mencapai 5,86 persen itu sudah senilai USD303 juta per Agustus 2020 dari total kebutuhan investasi hingga USD3 miliar. Lantas bagaimana bisa investasi sebesar itu akan dibuang sia-sia saat Freeport membatalkan pembangunan. Terlebih, pembangunan smelter baru merupakan syarat perpanjangan IUPK dalam ketentuan UU Minerba.
Bagaimana dengan hilirisasi nikel sebagai komoditas tambang primadona dunia saat ini? Sejak 1 Januari 2020 Indonesia secara resmi melakukan pemberhentian ekspor. Kebijakan ini diambil karena nilai ekspor nikel Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara pengekspor lainnya. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan kandungan nikel terbesar di dunia dan sampai akhir 2019 menjadi produsen dan eksportir bijih nikel terbesar dunia.
Presiden Jokowi mengatakan pemerintah melakukan hilirisasi sejumlah tambang, terutama nikel untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), meningkatkan peluang kerja, serta mengurangi dominasi energi fosil. Pemerintah telah melarang ekspor bijih (ore) nikel resmi pada 1 Januari 2020. Kebijakan ini dipercepat dari sebelumnya pada 2022 melalui Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 soal Perubahan Kedua Atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Upaya hilirisasi itu meliputi pengolahan bijih nikel menjadi feronikel, stainless steel slab, lembaran baja, dan bahan utama untuk baterai lithium.
Kementerian ESDM mengungkap ekspor bijih nikel mencapai 30 juta ton pada 2019. Angka tersebut naik 36,36 persen dari ekspor sebelumnya, yakni 22 juta ton. Pengamat Energi dari Energy Watch Indonesia Mamit Setiawan, dikutip dari CNN (14/8/2020) menilai hilirisasi nikel belum berkembang secara signifikan. Pasalnya, banyak perusahaan belum berkomitmen untuk pembangunan smelter.
Pernyataan Mamit sejalan dengan fakta bahwa Kementerian ESDM memangkas proyeksi pembangunan smelter dari 68 menjadi hanya 52 pada 2022 mendatang. Penurunan proyeksi smelter tersebut sebagian besar disebabkan oleh berkurangnya smelter nikel. Berdasarkan paparan Yunus, smelter nikel yang semula ditargetkan berjumlah 41 smelter turun menjadi 29.
Kementerian ESDM mencatat hanya ada 17 smelter eksisting yang layak beroperasi di Indonesia hingga Februari 2019. Angka ini memang menyedihkan, Indonesia sebagai negara yang memiliki kandungan nikel terbesar dunia tidak berdaya untuk berdikari membangun pabrik pengolahan nikel di negerinya sendiri.
Jika ditanya siapa yang paling dirugikan dengan kebijakan hilirisasi tambang ini? Mereka adalah para importir, yang nyatanya adalah negara-negara maju di dunia seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, China, Jepang, dan beberapa negara di Timur Tengah. Bahkan, pada akhir tahun lalu Indonesia digugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait pelarangan ekspor nikel Indonesia yang mulai berlaku sejak Oktober 2019.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu takut menghadapi gugatan tersebut, Pelarangan ekspor nikel dan mineral lainnya memiliki rujukan hukum sangat kuat. Gugatan Uni Eropa memang masuk akal, karena mereka paling terpukul dengan kebijakan larangan ekspor nikel.
Nikel Indonesia berkontribusi 32 persen terhadap nikel dunia. Sementara itu, Eropa dengan Jerman sebagai produsen otomotif utamanya saat ini mulai mendorong mobil listrik dengan tulang punggung nikel kalori rendah 1.8 persen dan mengandalkan bahan mentah dari Indonesia.
Upaya gugatan itu masih berlangsung hingga saat ini. Sehingga, bukan tidak mungkin pihak Jerman menempuh berbagai upaya untuk menekan Indonesia di tingkat global. Salahsatunya melalui isu Hak Asasi Manusia (HAM).
Preseden buruk yang dilakukan staf Kedubes Jerman yang mendatangi markas Front Pembela Islam di Petamburan Jakarta Pusat. Bukan tanpa alasan, publik mengaitkan hal tersebut dengan upaya intervensi Jerman untuk menggenapi gugatan atas Indonesia di WHO atas pemberhentian ekspor bijih Nikel dari Indonesia.
Lantas, mengapa seorang Sekretaris Umum FPI, Munarman menjadi begitu berarti dalam hal ini? Keberadaan Munarman bukan suatu kebetulan. Sebab ia merupakan satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari gerakan FPI dan banyak ‘bermain’ di daerah-daerah tambang nikel di Sulawesi.
Korelasi itu sangat terlihat jelas. Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman pernah mengatakan, tahun 2012 misalnya, ekspor nikel dari pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 41 juta ton naik hampir 2.000 persen dibandingkan tahun 2009 yang hanya mencapai 91.000 ton.
“Sepanjang tahun 2013 ke 2014, saya menyaksikan sendiri berton-ton bijih mentah diangkut tanpa pengawasan ke belasan kapal berbendera asing yang bertaburan tidak jauh dari pelabuhan yang saat itu bertebaran di berbagai titik di Sulawesi bagian tengah dan tenggara. Saya melihat sendiri kalau pengiriman tanah tersebut dilakukan siang-malam tanpa henti, dan sama sekali tidak memperhatikan good mining practices,” kata Ferdy dikutip dari laman Kompas (13/12/2019).
Pelarangan ekspor mineral, nikel, tembaga, bauksit dan batubara sebenarnya sudah dimulai sejak 14 Januari 2014 silam. Namun, pemerintah melunak karena banyak perusahaan tambang merugi dan mengancam merumahkan karyawan. Selain itu, ada ketakutan dari pemerintah yang dilatarbelakangi defisit neraca perdagangan meningkat.
Padahal, itu hanya ancaman jangka pendek saja. Jika sejak tahun 2014 pemerintah konsisten menerapkan kebijakan pembangunan smelter, penerimaan negara pasti akan meningkat drastis dan industri nikel mengalami perbaikan berarti. Sampai sekarang baru 30 persen perusahaan yang sudah membangun smelter.
Semua perusahaan tambang harus taat hukum Indonesia. Di industri nikel, dengan kebijakan itu, kita tidak lagi menjual nikel ore (biji nikel) dalam bentuk mentah (harganya sangat rendah), tetapi harus diolah ke pabrik smelter. Seperti Nickle Pig Iron (NPI per 10 persen nilai tambah) atau Nicke inmate (15 persen). Dengan itu harga nikel menjadi lebih besar atau 17 kali lebih besar dibandingkan kita menjual biji nikel mentah.
(Matu)