Pemerintah, DPR RI dan penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) telah sepakat menunda tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 akibat wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Ratusan warga negara Indonesia di tanah air meninggal dunia.
Ribuan orang terinvfeksi dan seluruh masyarakat diminta untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yaitu Pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Jauh hari sebelum PP nomor 21 tahun 2020 ini terbit, pemerintah baik pusat maupun daerah juga telah mengeluarkan imbauan bahkan maklumat agar masyarakat tetap di rumah.
Perkantoran, sekolah, kampus dan lainnya diliburakan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) meresponnya dengan mewajibkan seluruh satuan kerja (satker) di daerah untuk menerapkan sistem kerja dari rumah atau work from home (WFH) serta puncaknya adalah menunda sejumlah tahapan pemilihan kepala daerah.
Tak ada yang tahu pasti kapan wabah virus COVID-19 ini berakhir dan aktivitas masyarakat kembali pulih atau normal seperti biasanya. Efek dari ketidakpastian ini maka pemerintah pusat, DPR RI dan penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) sepakat untuk menunda tahapan Pilkada hingga 9 Desember 2020.
Artinya penundaan tahapan hanya tiga bulan dan dimulai lagi sekitar Juni 2020. Selain tanggal 9 Desember, ada dua skenario waktu pelaksanaan lain yang telah disiapkan yakni Maret 2021 dan akhir tahun 2021.
Penundaan ini wajib untuk direspon dengan payung hukum, baik undang-undang pilkada baru atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).
Untuk Undang-undang, rasanya mustahil dapat dibuat dalam waktu dekat karena pemerintah termasuk DPR RI saat ini lebih fokus untuk mengatasi wabah virus COVID-19. Dengan demikian maka Perpu adalah satu-satunya payung hukum yang diharapkan tidak saja ‘cepat’ dibuat atau diterbitkan tapi yang terpenting adalah obyek atau isi-nya.
Perpu yang akan ditandatangani Presiden ini hematnya harus berorientasi pada perubahan (change oriented) tata pelaksanaannya yaitu dari sistem manual ke sistem elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi kekinian.
Isi Perpu ini tak hanya terkait penetapan waktu pelaksanaan (kelanjutan) tahapan tapi perlu juga memperhatikan konteks kekinian dalam setiap tahapan penyelenggaraan pasca COVID-19 atau bahkan dalam kondisi wabah ini masih ada tapi penyebarannya tidak lagi masif.
Kasarnya wabah ini telah dikendalikan dan pemerintah telah mencabut semua imbauan, maklumat serta PP Nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB tadi.
Dapat dipastikan bahwa penundaan tahapan Pilkada 2020 ini juga berimplikasi pada proses sosialisasi ‘ulang’ baik penyelenggara, peserta, partai politik serta masyarakat sebagai pemegang hak daulat itu sendiri. Hal penting lainnya adalah penganggaran pilkada nanti.
Karena ekonomi nasional dipastikan mengalami resesi dan posisi keuangan daerah akan sangat berdampak. Sementara seluruh pembiayaan tahapan pilkada menjadi tanggungjawab pemerintah daerah melalui dana hibah daerah yang dituangkan dalam naskah perjanjian hibah daerah (NHPD).
Adalah tidak ‘lebay’ jika pemerintah daerah juga akan kewalahan untuk membiayai tahapan lanjutan Pilkada ini karena sektor-sektor penerimaan asli daerah (PAD) mengalami tekanan.
Contoh untuk studi kasus adalah Kota Batam yang 60 persen sumber penghasilan daerahnya berasal dari sektor jasa. Dimana sumbangsih terbesar adalah pajak dan retribusi sementara saat ini sektor jasa sebagai penyumbang terbesar PAD ‘mati suri’.
Selain ini, dana bagi hasil dari pajak kendaraan bermotor juga diprediksi tak signifikan. Pajak bumi dan bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga dipastikan anjlok karena kelesuan pembelian properti.
Sedangkan dari sisi regulasi, obyek Perpu yang diharapkan untuk mengisi kekosongan hukum kelanjutan tahapan ini harus mampu menjawab semua kondisi terkini di masyarakat serta punya terobosan.
Salah satunya adalah tentang pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap tahapan baik untuk pendataan pemilih, kampanye, pemungutan suara hingga penghitungan suara.
Pemanfaatan teknologi informasi ini juga ‘butuh’ anggaran yang besar tapi diyakini tidak sebesar pelaksanaan manual. Artinya sistem pilkada manual sudah saatnya ditinggalkan. Ini juga bagian penting dalam mewujudkan sistem politik dan demokrasi yang lebih transparan, proposional, akuntabel, efektif dan efisien.
Indonesia dapat mencontoh suksesnya Korea Selatan melaksanakan pemilihan umum pada 16 April 2020 ditengah masih mewabahnya virus COVID-19 dan dunia yang masih berduka akibat virus ini. Suksesnya Pemilu di Korsel ini tak terlepas dari pemanfaatan teknologi informasi hampir dalam setiap tahapan penyelenggaraan.
Diantaranya tahapan penting Pemilu yang memanfaatkan teknologi informasi adalah pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye dan penghitungan suara.
Sistem pendataan penduduk yang baik menjadi modal utama untuk penyusunan daftar pemilih yang akurat. Pemilih dapat menggunakan hak pilihnya di TPS manapun karena keberadaannya dapat terdeteksi secara online dan tidak perlu risau dengan surat suara karena selalu tersedia.
Dengan memanfaatkan teknologi informasi, pendataan pemilih tak butuh lagi ribuan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) karena akan berkontribusi pada anggaran.
Bisa diterapkan pencocokkan dan penelitian secara elektronik (e-coklit) sesuai nomor induk kependudukan di KTP elektronik. E-Coklit ini pernah diujicoba KPU Kota Makassar untuk digunakan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP).
Aplikasinya dapat ditingkatkan dengan output cukup dipakai penyelenggara tingkat PPK atau PPS bahkan KPU Kabupaten/Kota. Jadi dengan pengunaan aplikasi yang handal, maka KPU tidak perlu lagi merekrut aau melibat melibatkan petugas PPDP.
Ambil contoh sistem sensus penduduk berbasis elektronik yang telah dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan masih diperpanjang hingga saat ini karena COVID-19. Perekrutan ribuan PPDP juga berimplikasi membebani anggaran.
Di Korsel, materi dan cara kampanye dari peserta Pemilu dan kandidat, mayoritas menggunakan kekuatan internet untuk mempengaruhi pilihan pemilih. Praktik kampanye yang dilakukan juga relatif kecil dengan mendatangi kelompok pemilih di jalan umum dan tempat-tempat publik lainnya untuk menawarkan misi kandidat beserta materinya.
Metode ini cocok diterapkan di Indonesia dengan kondisi wabah virus COVID-19 saat ini. Kampanye di media masa juga diharapkan lebih lama dengan batasan pembiayaan yang juga diatur secara ketat karena kampanye tatap muka ditiadakan dalam kondisi pandemi COVID-19 bahkan setelahnya.
Selain itu, biaya untuk alat peraga kampanye (APK) peserta juga diharapkan agar tidak lagi membebani anggaran penyelenggara tapi menjadi tanggungjawab peserta. Yang diatur dalam Perpu nanti adalah batasan besaran anggaran dalam laporan dana kampanye yang lebih transparan.
TPS di Korsel dibuka pukul 06.00 dan ditutup pukul 18.00. TPS ditempatkan di gedung-gedung milik pemerintah yang terjamin akses bagi pemilih penyandang disabilitas dengan fasilitas yang memadai.
Perlu dipikirkan bagaimana mendesain TPS yang lebih luas agar implementasi social distancing tetap terjaga. Protokol kesehatan untuk memutus rantai virus COVID-19 juga harus dipikirkan saat membuat Perpu Pilkada.
Masih di Korsel, pada saat pemungutan suara, pemilih akan menerima surat suara dan melakukan penandaan dengan alat yang sudah disediakan dan memasukkan ke kotak suara.
Setelah pemungutan selesai, cukup dengan validasi KTP dan identitas lainnya pada saat pendaftaran dengan membubuhkan tandatangan. Untuk pelaksanaan pemungutan suara secara elektronik (e-voting) agar menjadi pertimbangan dalam Pilkada kali ini.
Pemanfaatan teknologi sangat terlihat pada saat rekapitulasi suara di TPS. Rekapitulasi surat suara menggunakan mesin penghitung yang dapat langsung merekapitulasi hasil suara dan mengklasifikasi suara tersebut untuk siapa.
Kecepatan mesin ini dapat menghitung 450 lembar surat suara dalam 1 menit dengan akurasi yang tinggi. Malam hari setelah hari pemungutan, sudah dapat diketahui siapa pemenangnya; tentu dari informasi yang cepat dan jaringan teknologi yang luas.
Rekap elektronik (e-rekap) yang telah diujicoba KPU RI diharapkan dapat diterapkan secara nasional memanfaatkan kondisi COVID-19 saat ini.
Karena ini adalah salah satu dari sekian inovasi KPU yang beralih dari sistem manual ke sistem elektronik yang bertujuan untuk menyelengarakan pilkada yang transparan, proporsional, akuntabel, efisien serta efektif.