Jayapura,Teraspapua.com – Anggota DPR Papua John NR Gobai Dorong agar Pemprov Papua selatan membuat pergub tentang PADIATAPA.
Hal itu disampaikan pada saat menjadi pemateri pada acara lokakarya PADIATAPA oleh Pemprov Papua Selatan, di Merauke (Selasa (28/3/2023).
Gobai menjelaskan, dalam pengelolaan SDA terkadang pengelola lebih mengutamakan mengejar keuntungan daripada membangun relasi dengan stakeholder, menggusur lahan milik masyarakat, mengadu domba masyarakat (Pro dan Kontra), membangun polarisasi dlm masyarakat, terjadi pengabaian hak masyarakat, menggunakan PAM yang kadang mengakibatkan adanya kekerasan yang berujung pada adanya tindakan Pelanggaran HAM, terhadap masyarakat akibat ketamakan investor besar.
“Negara sesungguhnya telah mengakui masyarakat adat, diatur dalam UUD Pasal 18B Ayat 2 yang berbunyi, Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” terangnya.
Dilain sisi, dalam amanat UU Otsus Papua, lanjut kata Gobai, isi UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua Pasal 43 ayat (4) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
Dan ayat (5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
“Oleh karena itu PADIATAPA, merupakan sebuah rekomendasi yang perlu diatur dalam regulasi daerah di Papua untuk melaksanakan amanat Pasal 43 ayat 4 dan 5 UU No 21 tahun 2001. Dalam rangka mengimplementasikan prinsip PADIATAPA maka disusun kebijakan daerah agar menjadi pedoman bagi Pemerintah, Masyarakat adat dan swasta,” imbuhnya.
Menurutnya, nilai FPIC/PADIATAPA memiliki Free Prior Informed Consent atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) adalah “Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekananan (Free) menyatakan setuju (Consent) atau menolak atau dengan kata lain sebuah hak masyarakat (adat) untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam wilayah adat mereka.”.
Uraian Nilai FPIC sendiri terdiri dari beberapa poin, yakni;
a) Bebas (Free), berarti masyarakat hukum adat bebas, tidak ada paksaan, intimidasi, kekerasan, tekanan oleh siapapun termasuk kebebasan menggunakan mekanisme pengambilan keputusan yang dimiliki atau dipilih sendiri serta bebas memilih siapa saja yang dapat mewakili mereka dalam berunding dengan pihak lain.
b) Diawal atau Sebelum atau Mendahului (Prior), berarti bahwa informasi tentang sebuah rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak pada hak seseorang atau kelompok orang, disampaikan sedini mungkin.
c) Diinformasikan atau Diberitahu (Informed), berarti pemrakarsa mempunyai kewajiban menjelaskan rencana pembangunan yang akan dilakukan, bilamana rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut akan menggunakan tanah/ulayat/objek objek hak masyarakat hukum adat.
d) Persetujuan (Concent), mengandung unsur persetujuan atas substansi, kesepakatan atas proses, dan aspek legitimasi atas persetujuan yang mencakup legitimasi menurut adat dan menurut hukum negara. PADIATAPA harus dilihat sebagai proses yang interaktif dan dialog yang berjalan secara terus menerus antara pemrakarsa dan masyarakat yang terkena dampak, jelas Gobai.
Ia pun menyarankan beberapa materi Muatan Kebijakan daerah :
a) Tata cara Sosialisasi, Pendataan, Verifikasi dan
Penetapan hasil PADIATAPA;
b) Hak-hak Masyarakat Adat,
c) Wilayah adat
d) Rumah Adat
e) Musyawarah Adat
f) Peradilan Adat
g) Hak dan kewajiban Pemerintah;
h) Hak dan kewajiban Pengusaha
i) Hak dan kewajiban Masyarakat Adat;
j) Ketentuan Peralihan;
k) Ketentuan Penutup.
Sehingga dalam tahapan FPIC dalam Kebijakan harus Sosialisasi, Musyawarah Adat, Identifikasi Dan Pemetaan Tanah Adat, Negosiasi, Kesepakatan, dan Penandatanganan.
Gobai pun berkesimpulan idealnya proses PADIATAPA terjadi jauh hari sebelum perusahaan bekerja, agar semuanya dibicarakan bebas di awal tanpa paksaan dan disepakati bersama oleh masyarakat adat.
Kemudian, lanjut kata Gobai, pemerintah memposisikan diri sebagai mediator dan fasilitator yang baik, tidak meninggalkan masyarakat berkonflik dengan perusahaan secara berkepanjangan yang berujung kepada terjadinya konflik dan kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat Papua.
“Bagi daerah yang telah ada perusahaan akan baik bila dilakukan dulu moratorium dan perusahaan dan masyarakat adat dimediasi dalam sebuah musyawarah adat di rumah adat,” imbuhnya.
Diharapkan agar hasil proses Padiatapa kemudian dimasukan dalam sistem OSS agar menjadi prasyarat dalam pemberian izin bagi perusahaan pengelola sumber daya alam.
“Bagi masyarakat adat saya berharap agar melihat penerapan FPIC merupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan sengketa dengan pemerintah atau perusahaan,” pungkasnya.