Masyarakat Papua Tolak Hasil Penetapan Sekda Papua

Jayapura,Teraspapua.com – Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan kaum intelektual Papua menolak calon sekda Papua, Dance Yulian Flassy yang ditetapkan oleh Presiden.

Penolakan itu disampaikan dalam keterangan pers kepada sejumlah wartawan disalah satu restoran yang ada di Kota Jayapura, Minggu (01/11/2020)

Deerd Tabuni selaku Tokoh Masyarakat Papua, mengatakan pihaknya menyampaikan penolakan terhadap sekda yang diduga ditunjuk oknum-oknum tertentu melalui Presiden.

Menurutnya, Kemendagri telah membentuk Pansel untuk melakukan seleksi calon sekda Papua. Pansel sudah melaksanakan tugasnya dan memberi penilai. Dari 10 orang yang ikut seleksi, lima orang masuk lima besar, dan berlanjut hingga tiga besar.

“Kemudian gubernur dan DPRP mengusulkan tiga nama ke Kemendagri. Yang mendapat nilai tertinggi saat seleksi adalah Doren Wakerkwa, SH dengan nilai 74,99, Drs. Demianus Wausok Siep dengan nilai 67,49 dan Dance Yulian Flassy, SE. Msi yang berada pada nilai 67,30,” kata Deerd Tabuni, jelasnya.

Namun lanjut kata Deerd, yang ditetapkan menjadi sekda adalah Dance Yulian Flassy yang berada pada peringkat ketiga. Padahal masyarakat Papua di 29 kabupaten mengikuti semua proses tahapan Pansel.

Untuk itu pihaknya meminta yang mestinya ditetapkan sebagai sekda adalah Doren Wakerkwa, karena dialah yang mendapat nilai tinggi bukan orang yang mendapat nilai rendah tegasnya.

“Ini permainan dari mana. Makanya kami tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda menolak sekda yang ditunjuk. Kami tahu rekam jejaknya. Saat jadi sekda di Tolikara, dia tinggalkan jabatannya dan menjadi Sekda di Sorong Selatan. Kemudian dia tinggalkam jabatan di Sorong Selatan dan mencalonkan sekda Papua. Untuk tingkat kabupaten saja tidak bisa apalagi mau urus satu provinsi,” ujarnya.

Deerd mengatakan, kepentingan politik jangan dimasukkan ke dalam birokrasi. Pihaknya dengan tegas meminta agar presiden segera meninjau SK pengangkatan sekda, Keppres dan surat tembusannya. Yang mestinya diangkat menjadi sekda adalah sesuai hasil seleksi dengan nilai tertinggi.

Masih kata Deerd, mestinya saat akan diputuskan siapa sekda Papua, terlebih dahulu dikoordinasikan dengan gubernur dan wakil gubernur Papua. Bukan ditetapkan sepihak.

“Kami semua sepakat memohon kepada presiden segera tinjau Kepres nomor 314 dengan salinan putusan nomor 159 yang tak sesuai hasil seleksi Pansel. Rakyat Papua mau yang dilantik adalah calon sekda yang sesuai hasil seleksi,” ucapnya.

Ia menambahkan pihaknya tidak tinggal diam dengan situasi itu. Akan menggugat atau membawa masalah ini ke PTUN Jakarta meminta supaya ada putusan hukum terhadap masalah ini.

“Sebelum ada peninjaun kembali, jangan sampai ada pelantikan yang bersangkutannya. Yang kami tolak adalah oknumnya sehingga kami minta SK ditinjau,” tandasnya.

Hal yang sama dikatakan tokoh kaum milenial Papua Beny Kogoya. Ia mengatakan mestinya dilihat dari hasil seleksi atau nilai. Selain itu, pihaknya tahu rekam jejak orang yang diangkat menjadi sekda itu.

“Tidak bisa bekerjasama dengan gubernur dan wakil gubernur. Bagi kami siapapun sekda mau orang Papua atau non Papua yang penting sesuai nilai hasil seleksi dan dan memiliki kemampuan membantu gubernur dan wakil gubernur,” kata Beny.

Untuk itu katanya, Keppres perlu ditinjau karena tidak sesuai hasil nilai dari Timsel Kemendagri yang diketuai Ahmad Kamal Malik. Situasi ini dinilai mempengaruhi karakter psikologi kaum milenial.

Mereka akan berpikir, kalau nanti ikut tes TNI-Polri, CPNS dan bidang lainnya mereka tidak akan lulus meski dapat nilai tinggi karena selalu ada permainan.

“Jangan kesannya ada unsur politik dalam birokrasi. Orang yang nilainya rendah ditunjuk jadi sekda. Secara psikologis ini menggangu kaum milenial di Papua. Makanya Keppres perlu ditinjau. Mengembalikan sesuai nilai hasil seleksi. Ini secara tidak langsung membunuh karakter kita kaum milenial,” ucapnya.

Masih ditempat yang sama, tokoh intelektual Papua, Yan Wenda mengatakan sejak awal pihaknya mengikuti seleksi yang dilakukan Timsel Kemendagri. Ada berbagai tahapan dilalui dan tiga orang masuk tiga besar sesuai perolehan nalai.

“Nah tiga nama inilah yang dikirim kepada Tim Penilai Akhir (TPA). Mestinya TPA berkoordinasi dengan Pemprov Papua sebelum menentukan siapa yang akan direkomendasikan ke presiden. Kalau seperti ini kesannya ditunjuk langsung. Nilai rendah yang dipilih. Kalau begitu untuk apa ada Timsel,” kata Yan Wenda.

Pihaknya menduga memang ada oknum-oknum bermain dalam TPA. Melihat rekam jejak saja Dance Yulian Flassy, dia pernah sekda di Toli sekitar tujuh bulan. Namun sebelum masa jabatannya berakhir dia pindah ke Sorong Selatan. Katanya, kalau seperti ini berarti ada masalah dalam karir orang tersebut.

“Kami menduga ini sudah disetting karena begitu SK atau Keppres keluar begitu cepat menyebar di grup WA dan Medsos. Kami akan surati resmi presiden selaku ketua TPA agar dapat meninjau kembali SK atau Keppres penangkatan sekda Papua,” ujarnya.

Sementara itu, kepala suku wilayah adat Lapago, Paus Kogoya menambahkan sebagai tokoh adat ia mendukung penolakan ini. Negara harus tahu Papua itu siapa. Negara punya UU dan itu mestinya diikuti.

“Negara buat UU jangan dilanggar sendiri. Kami mau anak kami sendiri di Papua yang menjadi Sekda. Sebagai kepala suku di wilayah Lapago presiden hargai saya,” kata Paus.

Menurutnya, ia selalu berupaya mempertahankan kabupaten di wilayah merah agar tetap aman. Ia meminta presiden melantik Doren Wakerkwa sebagai sekda.

“Selama ini saya tidak pernah menuntut sesuatu kepada negara. Situasi seperti ini yang membuat banyak orang Papua bicara merdeka. Negara sendiri yang menyalakan api. Kalau kita tidak saling menghargai, tidak taat aturan yang dibuat sendiri, maka negara ini akan hancur.

Pemerintah jangan selalu mendengar bisikan bisikan yang tidak jelas dari berbagai pihak. Jangan anggap ada OPM dan ada NKRI di Papua,” tandasnya.

(Matu)