Hindari Konflik Sosial, Pemprov Papua dan Pempus Diminta Berikan Ruang Kepada Nelayan Kecil

foto bersama kadis perikanan, para kabid dan anggota dewan kota

Jayapura, Teraspapua.com – Para nelayan kecildi kota Jayapura, Papua mengeluh akibat hasil tangkap ikan mereka saat ini sangat sulit, akibat kapal-kapal tangkap besar yang masuk di perairan utara Jayapura untuk melakukan penangkapan.

Kepala Dinas Perikanan kota Jayapura Matheys Sibi, S.ST, Pi, M.Si kepada Teraspapua.com mengatakan, keluhan para nelayan berkaitan dengan fishing ground atau daerah penangkapan yang jauh.

“Memang saat ini banyak kapal-kapal luar yang masuk melakukan penangkapan di perairan Utara Jayapura,” kata Matheys Sibi saat kunjungan anggota DPRD kota Jayapura di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Hamadi, distrik Jayapura Selatan, menindaklanjuti pengawasan Perda Nomor 15 tahun 2019 tentang “Pengelolaan Perikanan”

Hal ini menurutnya, tidak bisa kita pungkiri, karena Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) dari Kementerian telah dibangun di Kabupaten Biak, Papua.

Itu menjadi lokus pengembangan perikanan tangkap, saat ini juga terdapat kurang lebih 40 sampai 100 kapal yang memiliki izin penangkapan di Provinsi Papua.

“Nah, kapal-kapal ini yang melakukan penangkapan sampai di wilayah kota Jayapura, kondisi yang dialami nelayan dari sisi armada tangkap memang kalah, kemudian alat tangkap yang digunakan juga masih terbatas, beda dengan kapal-kapal yang di atas 30 GT,” akui Sibi.

Tentu kata Sibi, ke depan pasti akan menimbulkan konflik sosial antara nelayan lokal dengan nelayan yang sudah memiliki izin. Ini yang tentu, bisa menjadi perhatian pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, sehingga paling tidak bisa memberikan ruang kepada nelayan-nelayan kecil.

Dikatakan, salah satu dampak dengan aktivitas armada yang besar adalah jumlah tangkapan nelayan kota juga semakin menurun, kemudian biaya operasional yang tadinya Rp2 juta sampai Rp4 juta itu meningkat Rp8 juta sampai Rp10 juta.

Menurut Sibi, hal ini juga tentu yang memberatkan para nelayan. Kami juga dari pemerintah kota tidak bisa melakukan apa-apa, karena memang untuk pengelolaan perikanan sendiri adalah prinsipnya open akses.

“Jadi, siapapun yang mempunyai izin dia boleh melakukan penangkapan di wilayah kepulauan perikanan, memang secara regulasi juga ada dan tidak bisa dibatasi,” ujarnya.

Tetapi tentu juga harus ada keberpihakan kepada nelayan kecil, sehingga mereka juga bisa mendapat hak untuk melakukan tangkapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Ditambahkanya, salah satu solusi untuk mengurangi harga ikan adalah, kita harus melakukan kerjasama dengan daerah-daerah lain yang tangkapannya lebih untuk bisa memenuhi kebutuhan kota.

Karena menurutnya, hasil tangkapan ikan di kota sendiri juga bukan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat kota Jayapura, karena ikan-ikan kita juga dikirim keluar, daerah-daerah Provinsi Papua Pegunungan dan sekitarnya.

“Nah, ini tentu yang sangat berdampak terhadap harga ikan. Solusinya, kita harus melakukan kerjasama dengan daerah lain, karena memang kebutuhan ikan di kota Jayapura juga cukup tinggi dan ini menjadi potensi pasar yang ada,” ujarnya.

Sehinggah dikatakan, harus dilakukan kerjasama dengan daerah-daerah seperti Maluku atau Sulawesi Tenggara yang memang hasil tangkapan lebih tinggi,” tandasnya.

Hal senada juga dikatakan Anggota DPRD Kota Jayapura, La Ode Mohitu, nelayan mengeluh karena perusahaan besar yang masuk di wilayah Papua.

“Rompong-rompong mereka ratusan dan ini perlu ditanggapi serius, seperti apa yang disampaikanoleh Kadis Perikanan kota, bahwa mereka tidak mempunyai wewenang, karena jarak tangkap nelayan hanya 2 mil saja,’ ujarnya.

Selanjutnya adalah pemerintah provinsi dan keluhan para nelayan ini yang kita akan komunikasikan dengan pemerintah provinsi Papua.

Dikatakan, DPRD Kota juga akan bicarakan dengan unsur pimpinan, untuk ada pertemuan dengan DPR Papua, agar permasalahan ini bisa selesai, karena ini juga masyarakat sudah memberikan ancaman, kalau pemerintah tidak menanggapi, maka mereka melakukan tindakan yang di luar batas.

“Karena ini soal kehidupan, ini juga betul dan disisi lain pemerintah harus mendengar keluhan, masyarakat khusus para nelayan, karena tugas pemerintah melayani dan mendengar keluhan masyarakat,” ujarnya.

Dikatakan, yang mengelu bukan saja nelayan non OAP, tapi OAP juga,” pungkasnya.

(Har)