Wasior, Teraspapua.com – Seratus tahun perjalanan peradaban Papua bukan sekadar perayaan sejarah, tetapi juga perayaan iman, pengetahuan, dan kemanusiaan. Dalam setiap ruang kelas, doa para guru, dan perjuangan setiap murid, warisan Domine Isaak Samuel Kijne terus hidup dan menerangi masa depan generasi Papua.
Merayakan warisan Kijne bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menyambung nyala obor perjuangan menuju masa depan masa di mana anak-anak Papua berdiri tegak sebagai manusia beriman, berilmu, dan berkarakter.
Dari Bukit Aitumieri, sebatang batu kecil menjadi saksi lahirnya peradaban dan harapan besar bagi generasi Papua. Di sanalah Domine Isaak Samuel Kijne menanam benih iman dan pengetahuan yang hingga kini menjadi fondasi kebangkitan pendidikan di Tanah Papua.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Badan Pekerja Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) di Tanah Papua, Jony Y. Betaubun, saat menjadi narasumber dalam Talkshow Lima Satelit Satu Abad Nubuatan I.S. Kijne di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Jumat (24/10/2025).
Seratus tahun perjalanan pendidikan di Papua tidak dapat dilepaskan dari karya iman, pengorbanan, dan visi profetis para pelopor Injil dan pendidikan. Salah satu tokoh sentral dalam sejarah itu adalah Domine Isaak Samuel Kijne (1899–1970), seorang pendidik dan penginjil yang melihat jauh melampaui zamannya.

Ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju kebangkitan manusia Papua. Warisan Kijne bukan sekadar catatan sejarah, melainkan roh perjuangan yang terus hidup dalam setiap langkah kemajuan pendidikan dan peradaban di tanah ini.
Bagi Kijne, pendidikan adalah sarana transformasi manusia seutuhnya mencerdaskan pikiran, mengasah hati nurani, dan menumbuhkan tanggung jawab sosial. Pandangan itu kemudian melahirkan visi kenabian yang dikenal sebagai “Nubuatan Isaak Samuel Kijne”, yang diucapkannya di atas batu yang kini disebut “Batu Peradaban”:
“Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan ma’rifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.”
Pesan tersebut bukan sekadar kata-kata indah, melainkan kompas moral dan visi transformatif bagi dunia pendidikan dan iman di Tanah Papua.
Kijne meyakini bahwa pendidikan sejati harus mengubah manusia dari dalam membentuk karakter, bukan hanya menambah pengetahuan. Bagi dia, integrasi antara iman dan ilmu pengetahuan harus membawa manusia kepada pengenalan akan Allah serta menumbuhkan tanggung jawab terhadap ciptaan-Nya.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan kontekstual, yaitu pendidikan yang berakar pada budaya dan realitas lokal Papua, menjadikan bahasa, budaya, dan alam sebagai sumber belajar kehidupan.

Selain itu, pendidikan menurut Kijne harus menumbuhkan kemandirian dan tanggung jawab sosial, agar manusia mampu memimpin dirinya sendiri dan melayani sesamanya.
Sejarah mencatat, saat Kijne dan rekan-rekannya memulai pelayanan pendidikan, mereka tidak berbekal uang atau fasilitas, melainkan hanya pisang bakar dan ikan kering simbol kesederhanaan, ketulusan, dan pengabdian dari hati yang melayani.
Dengan modal sederhana itu, mereka membangun sekolah-sekolah pertama di tanah Papua. Mereka mengajar bukan karena memiliki banyak, tetapi karena percaya bahwa satu anak Papua yang terdidik dapat mengubah masa depan bangsanya.
Dari tangan mereka lahirlah generasi pertama pemimpin gereja, guru, dan tokoh-tokoh Papua yang menjadi pionir di berbagai bidang kehidupan.
“Jika dahulu Kijne hanya bermodal pisang bakar dan ikan kering mampu mendirikan sekolah, maka hari ini dengan segala kemajuan teknologi dan sumber daya, apa yang bisa kita berikan bagi masa depan Papua” ujar Joni Betaubun.
Pertanyaan itu, lanjutnya, merupakan panggilan moral dan spiritual bagi generasi masa kini agar tidak kehilangan roh pengabdian dan tanggung jawab sejarah terhadap tanah ini.
Pada tahun 1925, Kijne memutuskan bahwa Pulau Mansinam tidak lagi ideal untuk pengembangan pendidikan. Ia memilih Bukit Aitumieri sebagai pusat pendidikan baru dan pada 25 Oktober 1925, memulai sekolah formal bagi anak-anak Papua.
Bagi Kijne, pendidikan adalah proses pembebasan bukan alat penjajahan, melainkan sarana memerdekakan manusia dari kebodohan, ketakutan, dan ketergantungan. Ia menanamkan nilai-nilai Kristen tanpa menghapus identitas budaya Papua, melainkan menghargai simbol, bahasa, dan kearifan lokal.
Pandangan ini kemudian menjadi dasar pendidikan kontekstual dan holistik yang hingga kini menjadi ciri khas pendidikan Kristen di Tanah Papua.
Memasuki satu abad peradaban Papua, Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Tanah Papua berkomitmen melanjutkan semangat Kijne dengan memperkuat mutu dan tata kelola pendidikan.
Beberapa langkah strategis yang tengah dilakukan YPK antara lain: Peningkatan kualitas guru melalui pelatihan, workshop, dan program in-house training, Kerja sama dengan Universitas Cenderawasih (Uncen) dalam program recognition bagi guru YPK yang belum sarjana agar dapat melanjutkan studi S1;
Digitalisasi pembelajaran dan penerapan metode pengajaran berbasis teknologi, Program kewirausahaan dan pelatihan keterampilan di sekolah-sekolah YPK untuk membangun kemandirian ekonomi masyarakat Papua;
Kolaborasi dengan pemerintah, gereja, dan lembaga pendidikan untuk memperluas akses serta meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah pedalaman.
Dalam visi besarnya, YPK menempatkan pendidikan sebagai fondasi utama pembangunan sumber daya manusia Papua. Melalui pendidikan dasar hingga tinggi, YPK berupaya memperkuat karakter, moralitas, dan spiritualitas siswa serta memperluas akses pendidikan di daerah terpencil.
Di jenjang pendidikan tinggi, integrasi STFT I.S. Kijne dan Universitas Ottow Geissler (UOG) Papua ke dalam ekosistem YPK menjadi langkah strategis dalam menyiapkan pendidik, teolog, dan pemimpin gereja yang berkualitas.

Selain itu, YPK juga terus memperkuat fasilitas pendidikan, memperluas jaringan beasiswa, dan mengembangkan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Papua masa kini.
Seratus tahun setelah Kijne menancapkan Batu Peradaban di Aitumieri, semangat itu tetap menyala. Warisan iman, ilmu, dan karakter yang ia tanam kini menjadi fondasi bagi keberlanjutan pendidikan di Tanah Papua.
“Tugas kita hari ini adalah menyiram dan menumbuhkan benih yang telah ia tanam,” tegas Jony Y. Betaubun. “Agar pendidikan di Papua terus berbuah, melahirkan generasi yang beriman, berilmu, dan berkarakter.”
Dengan semangat itu, warisan Domine Isaak Samuel Kijne akan terus hidup menjadi cahaya yang menuntun Papua menuju masa depan yang terang, berdaya, dan bermartabat.
Selain Ketua BP YPK Tanah Papua, Joni Y. Betaubun, yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi IV DPR Papua, beberapa tokoh turut hadir sebagai pemateri, antara lain Sumule, Aser Waroi selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Teluk Wondama, Bernadus Alkhatib Imburi, mantan Bupati Teluk Wondama periode 2015–2020, serta Suriel Samuel Mofu, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah XIV Papua.
(Har)










