Jayapura,Teraspapua.com – Lantaran dilaporkan oleh rekan kerjanya ke polisi, seorang wanita berinisial SY kini harus berhadapan dengan hukum setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Ia dilaporkan pada 21 Maret 2024 oleh pelapor bernama Helen Rompas, karena diduga melakukan perbuatan tak menyenangkan dan penetapan tersangka diberikan pada 8 November 2024.
Pelapor melaporkan bahwa kasus ini bermula ketika ia dan tersangka terlibat cekcok di tempat kerjanya, kemudian muncul kata-kata yang dianggap menyinggung atau merendahkan martabat pelapor. Karena tak terima ia akhirnya melapor ke Polisi.
Baik pelapor maupun terlapor sama-sama bekerja pada salah satu perusahaan travel di Jayapura.
Kuasa hukum terlapor, Yulianto SH, MH menyampaikan bahwa sejatinya masalah yang dialami kliennya ini bisa diselesaikan secara bijak dan arif. Karena lebih pada masalah internal perusahaan, mengingat keduanya sama-sama bekerja di perusahaan yang sama dan lokasi kejadian juga ketiga sedang jam bekerja.
Akan tetapi ia menyayangkan karena kasus cekcok tersebut didorong ke proses hukum. Kliennya yang sedang dalam kondisi menyusui seorang bayi ini dijerat dengan pasal 310 KUHP dan atau pasal 335 ayat (1) KUHP tentang pencemaran nama baik atau perbuatan tak menyenangkan.
Kata Yulianto, dari kasus tersebut kliennya sudah beberapa kali diperiksa dan didorong lewat mediasi. Disitu SY beberapa kali mengaku salah dan menyampaikan permohonan maaf. Hanya saja ternyata cara ini tidak menghentikan kasusnya dan naik menjadi tersangka.
Menurut pria yang menjabat sebagai Ketua LBH Papua Justice & Peace ini perselisihan keduanya sepatutnya bisa didamaikan lewat upaya restoratif justice.
Apalagi kliennya, telah mengakui kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf berkali-kali. Sampai sang ibu terlapor juga datang dan meminta maaf langsung. “Klien kami dijerat dengan pasal yang menurut kami sudah tidak relevan lagi diterapkan diera sekarang. Pasal yang sebenarnya aparat kepolisian atau penyidik juga paham bahwa ini pasal sampah. Pertanyaan kami ada apa ini, kok seperti dipaksakan?,” sindir Yulianto.
Lanjut pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (Perhakhi) Provinsi Papua itu pihaknya berharap persoalan ini diselesaikan dengan jalur mediasi atau restorative justice, tadi sebagai bentuk mendukung program pemerintah menyelesaikan masalah tanpa harus berproses hukum.
“Apalagi kami dengar ada laporan serupa yang diajukan klien kami ke Polresta dimana ia juga mendapat perlakuan yang sama sehingga balik melapor. Artinya keduanya saling melapor,” bebernya.
Disini Yulianto juga menyayangkan karena masalah antar karyawan tidak ditengahi oleh pimpinan perusahaan dan terkesan tak ambil pusing. “Itu juga yang kami sayangkan tapi nanti kami cek apakah selama ini hak-hak klien kami sudah terpenuhi terutama dalam hak ketenagakerjaan,” bebernya.
Belum lagi, menurutnya SY sudah menyampaikan permohonan maaf kesekian kali, ternyata pelapor menolak memberi maaf dengan alasan sudah terlambat.
Namun belakangan upaya mediasi kembali dimunculkan namun harus dengan menyiapkan sejumlah uang dengan angka yang fantastis. “Jumlahnya ratusan juta dan kami cek apakah betul seperti itu sebab janganlah orang dengan ekonomi lemah dan tidak terlalu paham dengan hukum justru ditekan dengan permintaan uang yang tidak mereka sanggupi. Kami meminta ini bisa disikapi oleh Kapolda sebab kami melihat penyidik tidak mendukung upaya pemerintah dalam penerapan restorative justice itu sendiri. Masak kasus yang bisa didamaikan justru harus menjadikan orang tak paham hukum babak belur,” tutupnya.